Kamis, 17 Februari 2011

MASJID DAN UKHUWAH ISLAMIYAH


Segera setelah tiba di Madinah dalam perjalanan hijrahnya dari Mekah, hal yang dilakukan Nabi Muhammad SAW adalah mendirikan masjid. Dimulai dari penetapan lokasi masjid, kemudian dilakukan pembelian tanah lokasi masjid tersebut dari pemiliknya yaitu dua orang anak yatim, Sahl dan Suhail, selanjutnya dilakukan pembangunan masjid di mana semua anggota masyarakat, termasuk Rasulullah SAW dan para sahabat, terlibat dalam pembangunannya, akhirnya berdirilah masjid Nabawi dengan luas pada waktu itu kurang lebih 50 m x 50 m. Dengan kehadiran masjid tersebut, nampak dengan jelas bahwa sebuah peradaban, yaitu peradaban Islam sedang bersiap untuk bangkit dan memuliakan manusia di dunia dan akhirat.
Di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dan dilanjutkan oleh para sahabatnya dan para tabi’in, masjid menjadi pusat persaudaraan dan persatuan umat Islam dalam akidah, hukum syara’ Islam dan dalam menyelesaikan permasalahan yang muncul sehari-harinya. Sangat jelas sekali bahwa Nabi Muhammad SAW dan umat Islam saat itu sedang memancarkan akidah Islam, menerapkan hukum syara’ Islam dan merajut benang-benang persatuan dan persaudaraan.
Berkaitan dengan akidah, semua umat Islam meyakini rukun Iman di mana salah satu pengajarannya melalui tanya jawab antara Malaikat Jibril dengan Rasulullah SAW ketika sedang bersama para sahabatnya. Pada waktu itu pengajaran juga mencakup rukun Islam, pengertian ihsan dan beberapa hukum syara’.
Bahkan umat Islam yang berada di tempat yang jauh dari Rasulullah SAW pun berakidah dan hukum syara’ Islam sama seperti umat Islam yang di sekitar Rasulullah SAW. Utusan Rasulullah SAW telah mengajak mereka memeluk agama Islam dan menjalankan agama Islam. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Thalhah bin Ubaidillah disebutkan: “Seorang penduduk Najed yang berrambut kusut menemui Rasulullah SAW. Kami lamat-lamat mendengar suaranya tetapi tidak paham apa yang dikatakan sampai ia mendekati Rasulullah dan menanyakan tentang Islam. Lalu Rasulullah bersabda: Salat lima kali sehari semalam. Orang itu bertanya: Apakah ada salat lain yang wajib bagiku? Rasulullah menjawab: Tidak ada, kecuali kalau engkau ingin melakukan salat sunat. Kemudian Rasulullah bersabda: puasa pada bulan Ramadan. Orang itu bertanya: Apakah ada puasa lain yang wajib bagiku? Rasulullah menjawab: Tidak ada, kecuali kalau engkau ingin melakukan puasa sunat. Lalu Rasulullah melanjutkan: zakat fitrah. Orang itu pun bertanya: Apakah ada zakat lain yang wajib bagiku? Rasulullah menjawab: Tidak, kecuali kalau engkau ingin bersedekah. Kemudian lelaki itu pergi dan berkata: Demi Allah, aku tidak akan menambahkan kewajiban ini dan tidak akan menguranginya. Mendengar itu Rasulullah bersabda: Ia orang yang beruntung kalau benar yang diucapkannya itu”. Dengan demikian sangat jelas sekali bahwa umat Islam bersatu dalam akidah yang memancarkan hukum syara’ Islam dan masjid merupakan tempat yang penting dalam kesatuan akidah dan hukum syara’ Islam tersebut.
Masjid pun menjadi tempat di mana semua permasalahan yang terjadi terselesaikan dengan baik. Berbagai ketidaktahuan dan kesalahpahaman terselesaikan dengan baik. Contoh orang Najed di atas menunjukkan hal tersebut. Orang Najed tersebut tidak tahu tentang Islam atau ragu-ragu tentang Islam yang telah disampaikan utusan Rasulullah ke Najed. Selanjutnya dia langsung menemui Rasulullah SAW, menanyakan permasalahannya dan mendapatkan jawaban penyelesaiannya dari Rasulullah SAW. Dengan demikian kedatangan Islam dengan masjidnya menyebabkan ketidaktahuan menjadi pengetahuan dan ketidakpahaman menjadi pemahaman yang selanjutnya membawa pada persatuan dan persaudaraan yang baik.
Islam dengan masjidnya juga menyelesaikan permasalahan beda pendapat dengan sempurna melalui musyawarah yang benar. Salah satu contohnya adalah permasalahan beda pendapat untuk menghadapi musuh yang mengancam seperti pada saat perang Uhud. Pada saat itu, ada dua pendapat, salah satunya adalah menghadapi musuh di Bukit Uhud. Karena pendapat ini merupakan pendapat mayoritas rakyat, Rasulullah SAW menyetujui, selanjutnya mempersiapkan dirinya dan memobilisasi seluruh pasukan, dan esok harinya pada hari Sabtu berangkat menuju Bukit Uhud menyongsong musuh. Terlihat sekali bahwa permasalahan adanya berbagai pendapat yang berbeda di tengah masyarakat yang menyebabkan amaliyah tidak dapat dilakukan, diselesaikan oleh Rasulullah SAW dengan menyetujui pendapat mayoritas sebagai pendapat bersama sehingga amaliyah dapat dilakukan.
Pada masa Khulafaurrasyidin pun terlihat dengan jelas bahwa Islam dan masjidnya menyelesaikan permasalahan dengan baik yang berujung pada persatuan dan persaudaraan umat Islam. Setelah Rasulullah SAW wafat, kalangan Muhajirin dengan Anshar berbeda pendapat tentang siapa yang sepantasnya memimpin umat Islam menggantikan Rasulullah SAW. Setelah berdiskusi cukup lama, pada malam hari terpilihlah Abu Bakar Ashshiddiq sebagai pemimpin dengan mendapatkan baiat dari sahabat yang hadir di tempat tersebut. Esok harinya, beliau pergi ke masjid dan mengumumkan terpilihnya beliau sebagai pemimpin menggantikan Rsaulullah SAW sehingga mendapatkan ketaatan dari umat Islam pada waktu itu. Jadi Islam dan masjidnya telah menyelesaikan dengan sempurna permasalahan pergantian kepemimpinan.
Islam dan masjidnya juga berperan dalam penyelesaian permasalahan kepemimpinan setelah Utsman bin Affan. Permasalahannya pada waktu itu adalah sekelompok kecil masyarakat mendahului mayoritas umat Islam dalam pengangkatan Ali bin Abi Thalib. Menyadari permasalahan tersebut, Ali bin Abi Thalib menyodorkan tawaran berupa pembaiatan di masjid, sehingga khalifah tidak hanya didukung oleh sekelompok kecil, namun benar-benar didukung mayoritas umat Islam. Permasalahan pun selesai, Ali bin Abi Thalib terpilih memimpin umat Islam melalui baiat di masjid oleh mayoritas umat Islam.
Sebaliknya, Islam dan masjid juga menghilangkan akar permasalahan dengan sempurna. Pada masa Rasulullah SAW, orang Yahudi sengaja membuat masjid namun di dalamnya digunakan untuk persiapan makar terhadap Rasulullah SAW. Jadi dalam hal ini masjid tidak digunakan untuk menyelesaikan masalah yang nantinya menghasilkan persatuan dan persaudaraan, namun masjid ini merupakan akar permasalahan dari keterpecahbelahan dan persengketaan. Akar permasalahan ini pun diselesaikan dengan cara masjid tersebut dibakar.
Adapun pada masa Umar bin Khaththab, terdapat dua orang yang duduk-duduk di masjid pada saat semua orang aktif bekerja. Mengetahui hal itu, Umar menanyakan permasalahan mereka duduk-duduk di masjid. Mereka menjawab bahwa mereka sedang bertawakal kepada Allah SWT dalam bentuk duduk di masjid karena menjadi pengangguran dan tidak memiliki suatu hal untuk bekerja. Mencermati hal itu, Umar beranggapan bahwa mereka tidak sedang bertawakal kepada Allah SWT namun sedang berpangku tangan di masjid. Selanjutnya Umar mengusir mereka dari masjid sambil memberikan sejumlah biji-bijian yang memungkinkan mereka aktif bekerja. Dengan demikian, Islam dan masjidnya telah menghilangkan akar permasalahan berupa ketidakmampuan bekerja dan pengangguran.
Berdasarkan hal-hal di atas jelaslah bahwa masjid harus mampu memberikan penyelesaian Islam terhadap seluruh permasalahan yang terjadi di tengah rakyat sehingga masjid menjadi pusat persatuan dan persaudaraan yang baik bagi seluruh rakyat. Memang masjid merupakan pusat ibadah umat Islam, namun masjid juga harus berfungsi menyelesaikan permasalahan yang terjadi secara islamiy, dan menghasilkan persatuan dan persaudaraan yang baik. Pertanyaannya, bagaimana masjid pada masa sekarang dapat berfungsi sebagai tempat ibadah sekaligus pusat penyelesaian permasalahan yang terjadi di tengah umat Islam sebagaimana masjid pada masa Rasulullah SAW dan masa para sahabat?

Berlandaskan Akidah dan Hukum Syara’ Islam
Umat Islam yang menjadi jamaah masjid harus selalu berlandaskan akidah dan hukum syara’ Islam dalam melaksanakan semua hal, sebab hakikat Islam adalah akidah dan hukum syara’ Islam. Dengan kata lain, di bawah naungan masjid, umat Islam harus khudu’ (tunduk), ridlo (rela) dan taslim (berserah diri) di bawah aturan Islam. Banyak sekali dalil-dalil dalam ajaran Islam yang menunjukkan hal itu. Allah SWT berfirman dalam surat An Nisaa ayat 65: “Maka demi Tuhanmu! Mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau hakim dalam perselisihan yang timbul di antara mereka, kemudian mereka tidak merasa keberatan di hati mereka tentang keputusan yang telah engkau tetapkan dan mereka menerima keputusan itu dengan sepenuhnya”. Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang melakukan sesuatu amalan yang tidak dari perintah kami, maka ia adalah tertolak”
Dengan selalu berlandaskan akidah dan hukum syara’ Islam berbagai permasalahan kehidupan dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Penyelesaian yang sebaik-baiknya tersebut selanjutnya membawa pada persatuan dan persaudaraan yang baik di tengah masyarakat. Berdasarkan hal itu pula umat Islam dan masjid harus banyak mempelajari dan menelaah ajaran agama Islam sehingga setiap amal perbuatan yang dilakukan selalu berlandaskan akidah dan hukum syara’ Islam yang nantinya membawa pada persatuan dan persaudaraan.
Selain itu umat Islam dan masjid harus menolak landasan berfikir yang tidak sesuai dengan Islam, termasuk sekulerisme sebab sekulerisme membatasi agama pada perbuatan ritual dan ibadah semata dan memberikan tempat yang luas pada hawa nafsu untuk mengatur seluruh perbuatan kehidupan. Hal ini harus ditolak sebab membawa masjid hanya sebagai tempat perbuatan ritual dan ibadah, khususnya sholat, adapun masjid tidak diberi tempat menyelesaikan permasalahan kehidupan. Demikian juga sekulerisme harus ditolak sebab memberi peluang kepada pemikiran yang dikuasai hawa nafsu untuk menyelesaikan masalah kehidupan. Bukannya penyelesaian masalah yang bakal diperoleh, bahkan masalah demi masalah silih berganti menimpa rakyat, sebagaimana saat ini terjadi di tengah umat Islam. Demikianlah umat Islam dan masjid harus menolak semua pemikiran yang tidak sesuai Islam, seperti sekulerisme, liberalisme, kapitalisme, nasionalisme, patriotisme, sosialisme, komunisme dan lain-lain pemikiran yang tidak sesuai dengan Islam.

Melakukan Musyawarah
Di bawah naungan masjid, musyawarah harus selalu dilakukan oleh umat Islam. Melalui musyawarah ini berbagai perbedaan pendapat pemikiran dapat disatukan berdasarkan alasan-alasan yang masuk akal. Mungkin penyatuan pendapat melalui musyawarah tersebut berlandaskan kekuatan dalil, mungkin berdasarkan pendapat keahlian atau mungkin pendapat mayoritas. Jika musyawarah dapat menyatukan pendapat yang berbeda-beda, tentunya akan berlanjut pada persatuan dan persaudaraan di antara umat Islam.
Sangat disayangkan jika musyawarah di masjid tidak banyak dilaksanakan. Konon kabarnya banyak masjid yang bermusyawarah hanya dua kali dalam setahun, yaitu menjelang idul fitri dalam rangka pelaksanakan ibadah zakat fitrah dan sholat idul fitri dan menjelang idul adha dalam rangka pelaksanakan sholat idhul adha dan pelaksanaan ibadah penyembelihan kurban. Padahal permasalahan yang dihadapi umat Islam saat ini sangat banyak. Seharusnya musyawarah tidak henti-hentinya dilakukan di masjid dalam angka penyelesaian berbagai permasalahan yang terjadi.

Memanfaatkan Potensi untuk Kemaslahatan
Umat Islam dan masjid juga memiliki potensi yang besar. Potensi tersebut diantaranya adalah jamaah yang kaya, yang kuat dan yang pandai. Potensi tersebut harus digunakan untuk kemaslahatan umat. Bentuknya adalah tolong menolong di antara sesama umat Islam di sekitar msajid. Yang kuat menolong yang lemah, yang kaya membantu yang miskin dan yang pandai mengajari yang bodoh. Dengan cara seperti itu umat Islam dan masjid benar-benar hidup di bawah naungan persaatuan dan persaudaraan Islam.

PENUTUP
Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW ke Madinah yang dimulai dari pembangunan masjid, penegakan akidah dan hukum syara’ Islam dan terajutnya persatuan dan persaudaraan Islam menjadi teladan bagi umat Islam dalam membangun peradaban masjid. Untuk itu, Masjid tidak boleh mengikuti arahan sekulerisme dan pemikiran lain yang tidak sesuai ajaran Islam. Arahan itu hanya menyebabkan masjid menjadi sentral ibadah sebagaimana tempat ibadah agama lainnya, sedangkan permasalahan kehidupan dikendalikan hawa nafsu dan kejahatan. Selain itu, pengajian yang menegakkan akidah dan hukum syara’ Islam harus selalu digiatkan di masjid. Kemudian, masjid juga harus banyak melakukan musyawarah dengan umat Islam di sekitar masjid dan memanfaatkan potensi yang ada untuk kemaslahatan bersama. Semoga dengan itu, masjid benar-benar menjadi pusat peradaban Islam yang menyatukan dan mempersaudarakan umat Islam sebagaimana pada masa Nabi Muhammad SAW, para sahabat dan para tabiin.
READ MORE - MASJID DAN UKHUWAH ISLAMIYAH

Kamis, 10 Februari 2011

Menakar Kredibilitas Pejabat Negara Dalam Melayani Urusan Rakyat


Rencana kenaikan gaji presiden menuai Pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. Mereka yang tidak setuju menilai bahwa kenaikan gaji presiden tersebut sangatlah tidak etis, sebab situasi perekonomian bangsa masih sangat sulit dan masih banyaknya permasalahan yang belum teratasi, misal saja: masalah kemiskinan, pengangguran, gizi buruk, mahalnya pendidikan, mahalnya kesehatan, dll. Meskipun presiden sendiri tidak meminta kenaikan gaji, namun pernyataannya pada sambutan di hadapan prajurit TNI memunculkan opini publik bahwa gaji presiden perlu naikan, hingga muncul aksi pengumpulan koin untuk diberikan presiden. Rencana kenaikan gaji presiden akhirnya merembet ke 8.000 orang pejabat pemerintahan di pusat maupun di daerah yang juga kalau gaji mereka dinaikkan juga. Kenaikan gaji presiden atau para pejabat tersebut dinilai sebagian tokoh wajar, mengingat tugas yang berat dan prestasi yang telah diukir hingga saat ini. Benarkah selama para pejabat tersebut telah banyak prestasinya dalam membangun bangsa dan Negara ini? Bagaimanakah pandangan Islam terhadap gaji pejabat Negara?

Memimpin Bukan Mencari Keuntungan
Mengukur kenaikan gaji presiden dengan pencapaian prestasi dalam membangun bangsa ini boleh-boleh saja, akan tetapi hal itu dirasa kurang tepat, apalagi adanya klaim kalau presiden dan para pejabat telah banyak kemajuan tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Apabila kita tengok keadaan bangsa ini masih carut marut hampir di semua aspek kehidupan. Sejumlah masalah hingga saat ini belum juga dapat dituntaskan, mulai pemberantasan korupsi, pemberantasan mafia hukum, kemiskinan, pengangguran, pendidikan, kesehatan, stabilitas keamanan dan politik, dll. Program pemberantas korupsi dan mafia hukum masih banyak yang belum diungkap apalagi dibongkar sampai dalang-dalangnya. Pemerintah dan aparat hukumnya dinilai tebang pilih dalam penegakkan hokum karena hanya rakyat kecil saja yang dihukumi, sementara itu para koruptor, pelaku suap, atau pelaku kriminal lainnya tidak dibongkar hingga aktor intelektual. Seperti orang-orang yang terlibat dalam kasus bail out bank century yang telah merugikan Negara Rp. 6,7 trilliun tidak diadili, hal itu dikarenakan adanya tarik ulur kepentingan politik antara pemerintah dengan sejumlah elit politik. Begitupun kasus mafia pajak yang melibatkan para pejabat Negara dan para pengemplang pajak juga belum disentuh hukum, barangkali cukup sosok Gayus sajalah yang di seret ke pengadilan. Ini merupakan bukti ketidakseriusan pemerintah dalam menegakkan keadilan hukum bagi seluruh warga Negara, hukum seolah hanya berlaku pada rakyat kecil saja, tidak untuk pejabat walaupun sebenarnya telah banyak pejabat yang tersandung kasus hukum.
Keadaan sosial ekonomi sesunguhnya tidak menggembirakan sebab angka pengangguran per Agustus 2008 saja mencapai 9,39 juta jiwa (Tempo Interaktif, 5/1/2009). Sementara itu jumlah masyarakat miskin menurut BPS mencapai 32 juta orang, sedangkan menurut Bank Dunia rakyat miskin mencapai 100 juta jiwa. Belum lagi kasus gizi buruk, anak putus sekolah, kasus Kriminal dll. Jika melihat keadaan di lapangan sesungguhnya tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia masih jauh dari kesejahteraan, hidup mereka sangat memprihatinkan hingga beberapa waktu yang lalau muncul kasus bahwa ada 6 orang warga di pati Jawa tengah yang tewas karena keracunan makanan tiwul. Padahal kalau kita tengok kehidupan para pejabat Negara baik pusat maupun daerah sangat tercukupi, mayoritas penuh dengan pelayanan dan fasilitas mewah, mulai dari rumah dinas beserta perlengkapan dan kebutuhan oprasional di dalamnya, mobil dinas, pengawal, hingga tunjangan-tunjangan lainnya yang sangat besar. Menurut Menteri Keuangan Agus Martowardojo hingga saat ini, gaji total yang diterima seorang Presiden Republik Indonesia mencapai Rp. 62,74 juta per bulan, terdiri atas gaji pokok Rp. 30,24 juta dan tunjangan Rp. 32,5 juta. Di luar gaji yang diterima, untuk menunjang kegiatan dinas Presiden telah dianggarkan Rp. 2 miliar per bulan, dana operasional (taktis) tersebut dikelola rumah tangga kepresidenan. Di samping itu, juga ada fasilitas berupa rumah dinas, mobil dinas, ajudan, dokter, hingga pasukan pengawal presiden. Semua fasilitas tersebut telah disediakan Negara untuk menunjang kegiatan presiden dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai kepala negara.
Jabatan sebagai kepala Negara (presiden) ataupun pejabat daerah (Gubernur/Walikota/Bupati) lainnya merupakan amanah untuk mengabdi kepada bangsa dan Negara, yaitu mengurus rakyat tanpa mengharapkan imbalan apalagi keuntungan dari jabatannya tersebut, karena fasilitas dalam rangka menjalankan tugas tersebut telah diberikan sangat memadai. Oleh karena itu, sangat aneh kalau masih banyak para pejabat yang menginginkan kenaikan gaji atau tunjangan, lebih aneh lagi kalau mereka beserta keluarga dan kroni-kroninya malah menanfaatkan jabatannya untuk mengeruk keuntungan, yang ujung-ujungnya banyak para pejabat yang berlaku korupsi. Menurut sumber berita dari Kementerian Dalam Negeri, 125 Kepala Daerah dari 524 Kepala daerah yang tersebar di seluruh tanah air tersandung kasus korupsi, ada yang statusnya tersangka, terdakwa bahkan sudah divonis, tapi anehnya ada kepala daerah yang masih ngantor, padahal rakyat menghendaki kepala daerah yang tersangkut kasus hukum untuk tidak ngurus rakyat (www.depdagri.go.id). Keadaan yang demikian tentu sangat mengganggu proses pelayanan kepada masyarakat tapi inilah kenyataannya yang terjadi dalam sistem pemerintahan yang berdasarkan demokrasi kapitalisme, semua bisa dikompromikan karena memang sistem yang ada mendukung untuk itu.

Hak dan Kewajiban Pejabat Kepemimpinan Negara
Dalam pandangan Islam menjadi pejabat Negara bukan untuk mencari popularitas, apalagi keuntungan materi pribadi maupun golongan, akan tetapi seorang pejabat Negara seperti kepala Negara atau kepala daerah memiliki amanah dan tanggung jawab sebagai pelayan bagi rakyatnya. Pemimpin mempunyai tangung jawab yang besar untuk melayani kebutuhan seluruh rakyatnya, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda : “Setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang imam (adalah) pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya” (HR. Bukhari & Muslim). Dengan demikian setiap kebijakan yang ditetapkan seorang pemimpin memiliki konsekuensi di mata hukum, baik di dunia terlebih di akhirat kelak, apabila keputusan pemimpin tersebut benar menurut akidah dan hukum Islam selamatlah dia, akan tetapi jika menyimpang dia maka telah berbuat dzolim dan di akhirat akan mintai pertanggungjawaban. Oleh karena itu, Islam menjadikan akidah dan hukum Islam sebagai landasan dalam tegaknya syari’at kepemimpinan. Seorang kepala Negara diangkat oleh kaum muslimin dengan akad untuk menerapkan dan melestarikan aqidah dan hukum Islam secara ke seluruhan serta mengemban dakwah Islam ke luar negeri.
Mengurus rakyat merupakan bagian dari syari’at kenegaraan yang menjadi tanggung jawab kepala Negara. Kepala Negara berkewajiban memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok rakyatnya, yaitu makan, pakaian, dan tempat tinggal, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Negara tidak boleh lalai atau menelantarkan rakyatnya hingga mati, seperti kasus yang di alami keluarga pasangan Jamhamid dan Siti Sunayah yang tinggal di Desa Jebol, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, karena tidak memiliki uang untuk membeli beras, akhirnya tiwul (bahan pokok ketela pohon) yang dicampur dengan gula aren dan parutan kelapa dijadikan sebagai alternatif pengganti nasi, namun naas makanan tiwul tersebut diduga beracun sehingga menyebabkan 6 anaknya meninggal dunia. Peristiwa ini seharusnya tidak boleh terjadi, kalau kepala daerah atau kepala Negara betul-betul menjalankan amanahnya dalam mengurus rakyatnya. Setelah kejadian ini pun tidak ada yang merasa bersalah untuk mempertanggungjawabkan di hadapan hokum atas kelalaian memelihara rakyatnya, tetapi kejadian itu berlalu begitu saja. Kalau kita ingat kisah amirul mukminin Umar bin Khothob ra. ketika menjadi kholifah (kepala Negara), beliau pada suatu malam ketika berpatroli mendapati salah satu rakyatnya yang miskin, di mana anaknya menangis terus karena kelaparan dan sang ibu pun hanya bisa menghibur dengan memasak batu hingga anaknya tertidur lelap. Melihat keadaan rakyatnya yang demikian ini, umar ra. yang saat itu ditemani Aslam bergegas kembali ke gudang baitul mal untuk mengambil sekarung gandum, daging dan susu untuk diberikan kepada rakyatnya yang kelaparan tersebut. Umar ra. Karena merasa takut akan pertanggungjawabannya di hadapan Allah kelak, maka beliau mengangkat sendiri karung yang berisi gandung tersebut ke rumah rakyatnya yang kelaparan tersebut.
Para Kepala Negara baik Rasulullah SAW dan para kholifah sepeninggalnya ketika menjabat sebagai kepala negara tidak terbesit dalam hatinya untuk mengeruk keuntungan untuk diri dan keluarganya, justru didapati Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar ra, Umar bin Khothob ra. Ustman ra. Dan Ali ra. adalah hamba-hamba Allah yang sangat sederhana masalah harta, walaupun dalam sejarah Islam didapati kepala Negara yang melakukan kedzoliman seperti yang dilakukan Mu’awiyah yang lebih mementingkan diri dan keluarganya dalam urusan harta. Namun mayoritas para kepala negara pada masa-masa pemrintahan Islam mereka hidup sederhana tidak memanfaatkan jabatannya untuk urusan duniawi semata, tetapi mereka bersungguh-sungguh dalam mengurus urusan rakyat hingga pada jaman keemasan Islam pada pasa kholifah Umar bin Abdul Azis karena kemakmuran dan kesejahteraannya hingga mencari rakyat miskin untuk diberi zakat.
Sedangkan terkait dengan kebutuhan kepala Negara, keluarga, dan jabatan kepemimpinan lainnya dalam negara islam maka akan ditanggung Negara berupa iwath (penggati hidup), hal ini berdasarkan ijma’ sahabat, ketika kholifah Abu Bakar ra. tidak didapati Umar mengurus rakyatnya, kemudian Umar ra. menanyakan keberadaan Abu Bakar, ternyata didapati Abu Bakar sedang berdagang untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Saat itu juga umar dan para sahabat yang lainnya berkumpul sehingga disepakati adanya iwath kepada kholifah dan keluarganya yang masih menjadi tanggungannya sehingga kewajibannya sebagai kholifah tidak meninggalkan. Rasulullah pun membolehkan adanya fasilitas bagi kepala Negara ataupun pejabat, pegawai tetapi sesuai dengan haknya, sebagaimana sabdanya: “Siapa saja yang bekerja untuk kami dan tidak punya rumah tinggal hendaklah dia mengambil rumah tinggal, atau kalau dia tidak punya istri hendaknya dia menikah, dan jika tidak punya pembantu hendaknya dia mengambil pembantu, dan tidak punya hewan tunggangan hendaknya dia mengambil hewan tunggangan, dan siapa saja mengambil selain itu maka dia adalah koruptor” (HR. Abu Dawud).
Jadi dalam pandangan Islam tidak ada yang namanya gaji kepala negara, kepala daerah (wali/amil), dan jabatan kepemimpinan lainnya. Karena jabatan tersebut bukanlah sebuah pekerjaan melainkan sebagai pemimpin yang diangkat oleh umat dengan aqad untuk menerapkan dan melestarikan syari’at Islam dan mengemban dakwah Islam ke luar negeri sehingga tidak boleh diberikan gaji. Namun demikian Negara memberikan ganti biaya hidupnya (iwath). Sedangkan jabatan pegawai/pekerja secara umum merupakan aqad ijarah antara pemberi kerja dengan penerima kerja, oleh karena itu hak bagi pegawai/pekerja adalah upah (gaji), dan soal penentuan gaji pegawai/pekerja ditentukan berdasarkan ukuran keumuman yang berkaitan dengan pekerjaan tertentu. Yang menentukan ukuran nilai sebuah pekerjaan bukanlah dari pekerja atau pengusaha melainkan lembaga khusus yang bertugas menaksir nilai dari sebuah pekerjaan. Sedangkan untuk kesejahteraan bukanlah termasuk dalam komponen penetapan gaji pegawai/pekerja melainkan merupakan tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan pokok bagi setiap warganya. Demikian pula bagi pemimpin-pemimpin negara dalam menjalankan tugas bukanlah untuk mendapat kesejahteraan melainkan bagaimana menjalankan kekuasaan yang sudah diwakilkan oleh rakyat kepada dirinya dengan baik. Wallahu a’lam bisshowab.
READ MORE - Menakar Kredibilitas Pejabat Negara Dalam Melayani Urusan Rakyat

Kamis, 03 Februari 2011

BUTUH WIRAUSAHAWAN MUSLIM ?

Banyak sekali informasi yang menunjukkan bahwa pada saat ini umat Islam mengalami keterpurukan di berbagai sektor. Sebagai contoh, ada yang menginformasikan bahwa di Malaysia, penduduknya yang beragama Islam sebanyak 60% ternyata hanya menguasai 20% perekonomian, sedangkan etnis tertentu yang kebanyakan tidak beragama Islam dan jumlahnya hanya 20% ternyata menguasai 60% perekonomian Malaysia. Adapun di Indonesia, pernah ada suatu survei yang menanyakan bagaimana pendapat responden tentang berat-ringannya pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Ternyata mayoritas, 73%, merasakan bahwa pemenuhan kebutuhan sehari-hari semakin berat, sebanyak 21% responden merasakan sama saja dengan dulu, dan hanya 6% yang merasakan semakin ringan. Ketika ditanyakan apakah sekarang ini mendapatkan pekerjaan baru dirasakan semakin sulit atau semakin mudah, sebagian besar responden, 89%, merasakan sekarang makin sulit mencari pekerjaan baru, sebanyak 5% responden merasakan sama saja, 4% merasakan makin mudah, dan 2% tidak tahu. Ada juga yang menganalisis jumlah pengangguran terbuka di Indonesia yang selalu mengalami peningkatan. Bahkan jumlah pengangguran terbuka pada tahun 2005 meningkat hampir 100% dari pengangguran terbuka pada tahun 2000. Pada tahun 2000 jumlah pengangguran terbuka sebanyak 5,86 juta orang sedangkan pada tahun 2005 jumlah pengangguran terbuka sebanyak 11,19 juta orang.
Terdapat juga pihak yang membandingkan antara kesejahteraan yang dicapai umat Islam dengan kesejahteraan yang telah dicapai umat dan negara-negara kapitalis. Misalnya saja, ada yang membandingkan antara Pakistan dan Norwegia. Di Pakistan umur rata-rata penduduknya adalah 63 tahun sedangkan di Norwegia umur rata-rata penduduk adalah 79,4 tahun. Di Pakistan, jumlah penduduk yang masuk sekolah adalah 35% sedangkan di Norwegia 100%. Di Pakistan, pendapatan per kapita adalah USD 2.097 per tahun sedangkan di Norwegia pendapatannya adalah USD 37.670 per tahun.
Masih banyak informasi dan fakta yang menunjukkan bahwa saat ini umat Islam di seluruh penjuru dunia mengalami keterpurukan dalam berbagai sektor. Hal ini berbeda dengan umat Islam pada masa lalu yang mengalami kebangkitan dan kemuliaan di seluruh sektor kehidupan. Demikian juga, kondisi sekarang ini berbeda dengan seruan Islam terhadap umat Islam untuk bangkit dan mulia. Allah SWT berfirman dalam surat An Nur ayat 55: “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah membentangkan bumi kepadaku dan aku telah melihat bagian timur dan barat bumi. Dan umatku, kekuasannya akan meliputi yang dibentangkan padaku itu…” (HR Muslim dari Tsauban).
Menanggapi masalah keterpurukan ini, berbagai pihak berharap banyak kepada wirausaha. Mereka berdalih berdasarkan fakta, misalnya di negara Amerika Serikat yang perekonomiannya saat maju dan berkembang ditopang oleh perusahaan raksasa dan perusahaan kecil yang didirikan oleh para imigran, minoritas dan wanita yang sangat mengandalkan faktor kewirausahaan. Ada juga yang berdalih berdasarkan pemikiran bahwa wirausaha membentuk nilai tambah di tengah masyarakat sebab seorang wirausaha menemukan pengetahuan, melakukan inovasi dan menerapkan kreativitas untuk menyatukan sumber daya alam, modal dan tenaga kerja sehingga membuka peluang usaha. Demikian juga ada yang berdalih berdasarkan harapan bahwa seorang wirausahawan akan mempekerjakan dirinya, mempekerjakan orang lain sehingga menghasilkan kekayaan yang dapat menghidupi dirinya, keluarganya dan orang-orang yang berada dalam tanggung jawabnya. Ada juga yang berdalih berdasarkan harapan bahwa wirausaha akan memenuhi kebutuhan barang dan jasa di tengah masyarakat sebab wirausahawan memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan dan dibeli konsumen.
Kenyataannya, wirausahawan bukanlah seorang malaikat. Banyak ditemui realitas bahwa seorang wirausahawan ternyata adalah wirausahawan yang bejat dan meresahkan masyarakat. Ada wirausahawan yang ditangkap polisi karena memperjualbelikan komoditas yang tidak seharusnya diperjualbelikan seperti senjata, narkoba atau obat bius. Ada wirausahawan yang mendapatkan proyek bisnis dengan menyuap berbagai kalangan pemerintahan. Ada wirausahawan yang tidak amanah dalam bentuk mengkorupsi dan menyelewengkan uang. Ada juga wirausahawan yang memonopoli dan memperjualbelikan harta milik umum seperti air, pulau, hutan, tambang skala besar dan hasilnya, jalan raya, atau berbagai fasilitas umum yang dibutuhkan masyarakat. Ada wirausahawan yang memproduksi dan memperjualbelikan berbagai minuman dan makanan yang haram. Selain itu ada wirausahawan yang menjual dengan teknik dan harga yang melanggar syariat Islam dan ada pula wirausahawan yang hanya mengeksploitasi karyawan-karyawannya. Demikian juga ada wirausahawan yang berwirausaha dengan cara meminjamkan dan membungakan uangnya.
Oleh karena itu opini yang berkembang di tengah masyarakat adalah perlu wirausahawan muslim. Ironisnya masyarakat tidak tahu bagaimana mewujudkannya. Masyarakat menduga bahwa wirausahawan muslim akan muncul dengan sendirinya seiring doa, harapan, keinginan dan impian masyarakat. Kenyataannya sampai sekarang wirausahawan Islam yang didambakan tidak terwujud. Apalagi kapitalisme senantiasa menyiapkan jebakan yang akan menjerumuskan umat Islam dalam jurang kenistaan. Dengan berbagai kedok mereka membelokkan harapan dan keinginan masyarakat sehingga yang diperoleh umat Islam tidak lebih dari wirausahawan muslim semu. Dari sinilah muncul pertanyaan tentang bagaimana mencetak wirausahawan muslim dan siapa yang harus bertanggung jawab dalam mencetak wirausahawan muslim.

Bukan Suatu hal Yang Sulit
Umat Islam adalah umat yang penuh dengan pengalaman sukses dalam mencetak kebaikan. Umat Islam sukses mencetak ahli ibadah yang sangat dekat kepada Allah SWT, ahli ilmu yang sangat cerdas, ahli dakwah yang berhasil meluaskan pengaruh Islam, tentara yang mempunyai semangat jihad fii sabilillah, hingga ahli politik dan pemerintah yang mampu melayani masyarakat. Tengoklah para sahabat nabi SAW, para taabi’in, para taabiittaabi’in, para ulama Islam dari kalangan salaf maupun khalaf, hingga para khalifah. Mereka adalah mutiara Umat Islam yang tercetak untuk mewujudkan, menyuburkan dan menyebarkan kebaikan hakiki, yaitu Islam sebagai rahmatan lil ‘alamiin.
Berdasarkan pengalaman itu, umat Islam tidak mengalami kesulitan dalam mencetak wirausahawan muslim. Kehidupan Islam membuat mereka tidak mengalami kesulitan mencetak kebaikan apapun, termasuk mencetak kebaikan berupa wirausahawan muslim. Faktanya, umat Islam telah berhasil mencetak Abu Bakar AshShiddiq sebagai seorang muslim yang taat sekaligus wirausahawan yang piawai. Demikian juga umat Islam telah berhasil mencetak Abdurrahman bin Auf sebagai muslim yang taat sekaligus wirausahawan.
Umat Islam tidak kesulitan mencetak wirausahawan muslim sebab mereka berlandaskan wahyu Allah SWT dalam surat Ar Ra’du ayat 11: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga kaum itu mengubah dirinya sendiri”. Umat Islam sadar bahwa kebodohan bisa dihilangkan dengan sistem pendidikan Islam, benteng musuh dapat dibuka dengan penyerbuan atau kemiskinan dapat dihilangkan dengan mewujudkan sistem perekonomian Islam. Demikian juga mereka sadar bahwa mereka tidak akan mengalami kesulitan mencetak wirausahawan muslim. Dalam hal ini umat Islam akan melakukan dua langkah strategis, yaitu:
1. Umat Islam akan membentuk kepribadian Islam pada individu-individu umat Islam. Pembentukan kepribadian Islam dilakukan dengan membentuk kesadaran Islam dan kecenderungan Islam.
a. Dengan kesadaran Islam tersebut, umat Islam akan selalu melakukan aktifitas yang sesuai ajaran Islam. Jika nantinya mereka menjadi wirausahawan muslim mereka tidak akan melakukan aktifitas bisnis ribawi sebab di dalam dirinya sudah terdapat kesadaran Islam bahwa Allah SWT telah melarang riba sebagaimana di dalam surat Al Baqarah ayat 275: ”Orang-orang yang (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan, lantaran penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata, sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ...”. Mereka juga tidak akan melakukan aktifitas bisnis monopoli dengan harga yang sangat mahal sebab mereka sadar bahwa monopoli dilarang dan harga yang sangat mahal termasuk penipuan ghabn, mereka juga tidak akan melakukan penyuapan sebab mereka sadar bahwa Islam melarang penyuapan walaupun hanya sedikit, dan mereka juga tidak akan berbisnis mencaplok harta milik umum dengan alasan apapun sebab mereka sadar bahwa Allah SWT melarang membisniskan harta milik umum. Jadi kesadaran Islam menyebabkan mereka terhalang dari jalan wirausahawan yang tidak islamiy dan jahat.
b. Apalagi ditambah dengan kecenderungan untuk melaksanakan yang Islamiy dan kecenderungan untuk meninggalkan yang tidak Islamiy, pastilah kecenderungan yang islamiy ini menyebabkannya tertutup menjadi wirausahawan jahat, bahkan sebaliknya mereka akan menjalani dan meniti kehidupan wirausaha yang islamiy.
2. Kedua, umat Islam akan menempa kewirausahaan pada individu-individu umat Islam. Individu berkepribadian Islam di tengah umat Islam yang ingin menjadi wirausahwan akan ditempa dengan pemikiran wirausaha dan keberanian berwirausaha. Harapannya tidak muncul wirausahawan yang ‘bondo nekat’ atau peragu yang hanya mencetak wirausahawan yang gagal. Jika para wirausahawan tersebut hanya ditempa dengan keberanian berwirausaha, tanpa pemikiran wirausaha, maka mereka akan menjadi wirausahawan muslim yang nekad, sedangkan jika mereka hanya ditempa dengan pemikiran wirausaha, tanpa keberanian wirausaha, maka mereka akan menjadi wirausahawan muslim peragu. Namun dengan ditempakan pemikiran dan keberanian wirausaha, wirausahawan muslim siap menempuh kehidupan sukses sebagai wirausaha, tanpa meninggalkan kepribadiannya sebagai muslim.

Selanjutnya para wirausahwan Islam, bersama dengan politikus Islam, ulama Islam, pekerja Islam, pendidik Islam, dan seluruh elemen-elemen Islam yang lain di tengah kehidupan Islam akan berkiprah mengisi waktu membangun peradaban Islam hingga datang saatnya Allah SWT memberikan pahala atas kebaikan yang mereka lakukan di dunia. Mereka membuktikan firman Allah SWT secara amaliy: ”Dan carilah dari apa yang diberikan Allah (kemuliaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan nasibmu di dunia”

Tanggung Jawab Bersama
Individu di tengah umat Islam yang ingin menjadi wirausahawan muslim harus memiliki tanggung jawab yang penuh. Mereka harus menyadari bahwa kebutuhan umat Islam bukan hanya wirausahawan, namun kebutuhan umat Islam adalah wirausahawan berkepribadian Islam. Kebutuhan umat Islam adalah wirausahawan yang dikendalikan kesadaran dan kecenderungan Islam. Sebaliknya umat Islam tidak membutuhkan wirausahawan yang melepaskan diri dari kepribadian Islam ketika berwirausaha.
Dengan demikian, individu yang ingin menjadi wirausaha muslim bertanggung jawab untuk menempa diri mereka sendiri sehingga benar-benar menjadi wirausahawan muslim. Para wirausahawan muslim bertanggung jawab untuk menempa kepribadian Islam mereka sendiri sebagaimana mereka bertanggung jawab untuk menempa kesadaran wirausaha dan keberanian wirausaha mereka sendiri. Dengan tanggung jawab tersebut wirausahawan telah menyiapkan diri mereka sendiri untuk menjadi wirausahawan muslim.
Adapun umat Islam secara umum bertanggung jawab dalam penciptaan lingkungan wirausaha yang kondusif. Ibarat lahan pertanian dan tanamannya, maka umat Islam adalah lahan pertanian sedangkan wirausahawan muslim adalah tanamannya, sehingga umat Islam harus menjadi lahan pertanian yang subur bagi wirausahawan muslim. Umat Islam secara keseluruhan harus bertanggung jawab menjadi lahan yang subur bagi wirausahawan islamiy.
Tanggung jawab yang dipikul umat Islam tersebut berbentuk sistem kehidupan dan sistem ekonomi Islam. Wirausahawan muslim berkepribadian Islam akan bisa tumbuh dan berkembang dengan baik dan sempurna jika berada di tengah sistem kehidupan dan ekonomi Islam. Jika wirausahawan muslim berkepribadian Islam adalah tanggung jawab wirausahawan muslim itu sendiri, maka sistem kehidupan dan ekonomi Islam menjadi tanggung jawab umat Islam secara keseluruhan. Umat Islam harus membentuk sistem kehidupan dan ekonomi Islam sehingga berbagai kebaikan, termasuk wirausahawan muslim berkepribadian Islam dapat tumbuh subur dan berkembang. Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imron 104: ”Hendaklah ada di antara kalian suatu umat yang mengajak kepada kebaikan, memerintahkan mengerjakan yang ma’ruf dan meninggalkan yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung”


UNDANGAN KAJIAN ISLAM

MEMBANGUN JIWA KEWIRAUSAHAAN ISLAM

TEMPAT : MASJID AT TAKWA SUMBER
HARI : MINGGU, 6 FEBRUARI 2011
WAKTU : 09.00 – 14.00 WIB
PEMBICARA :
1. USTADZ DR. AGUNG RIYARDI, MSi (FORUM KOMUNIKASI MASJID JAWA TENGAH)
2. DRS. ZAINAL ABIDIN ZEN (PENGUSAHA)

NB: DIADAKAN KONSULTASI PROPOSAL WIRAUSAHA OLEH PAKAR & PRAKTISI
READ MORE - BUTUH WIRAUSAHAWAN MUSLIM ?