Kamis, 11 November 2010

MENANGANI BENCANA ALAM DENGAN METODE YANG BENAR

Bencana alam kembali melanda beberapa wilayah di Indonesia, mulai banjir bandang yang terjadi di Wasior Papua yang menewaskan kurang lebih 97 orang dan memporak-porandakan rumah-rumah penduduk setempat yang menyebabkan kerugian materiil yang cukup besar. Hingga kini korban banjir bandang tersebut masih banyak yang tinggal di pengungsian dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Pasokan bahan-bahan makanan, obat-obatan, selimut, dan kebutuhan-kebutuhan vital lainnya agak terlambat dan kurang memadai, pemerintah pun tidak mau disalahkan akan ketidak optimalan penanganan banjir bandang tersebut dengan alasan bahwa Wasior secara geografis merupakan daerah yang susah untuk dijangkau via darat. Alasan yang hampir sama dalam pada penanganan korban tsunami di kepulauan Mentawai Sumatera Barat, pemerintah beralasan di samping lokasi yang susah dijangkau, kondisi cuaca yang buruk membuat bantuan urung disampaikan kepada korban tsunami. Padahal para korban bencana alam tersebut sangat membutuhkan pertolongan dan bantuan pemerintah khususnya pemerintah daerah.
Peran dan tanggung jawab pemerintah sangat dinantikan para korban bencana, sebab dalam kondisi yang demikian para korban telah kehilangan keluarganya, harta bendanya serta dihantui perasaan trauma sehingga mereka sangat membutuhkan bantuan untuk memulihkan keadaan mereka. Ketidaknyamanan sebenarnya juga dirasakan para korban letusan gunung Merapi, mereka yang tinggal di pengungsian dengan segala keterbatasannya dan ketidakpastian tidak mendapatkan bantuan yang memadai, baik tempat pengungsian, makan, layanan kesehatan hingga kebutuhan kesejahteraan lainnya. Keluhan-keluhan atas penanganan dan pelayanan yang kurang optimal hampir dirasakan semua korban bencana, mulai korban tsunami di Aceh, Gempa di Klaten & Jogja, Gempa di Jawa Barat, di Padang bahkan korban lumpur lapindo Sidoarjo pun mengeluhkan hal yang sama atas peran pemerintah terhadap rakyatnya. Yang menjadi pertanyaan, kenapa penanganan korban bencana selalu lambat dan tidak optimal?

Butuh Peran Negara
Indonesia sebagai negara kepulauan menurut banyak ahli geologi berpotensi besar timbulnya bencana alam secara terus menerus, baik itu gempa bumi dan tsunami, gunung meletus maupun tanah longsor, banjir dll, sebagaimana yang terjadi saat ini. Kondisi rawan bencana alam ini sebenarnya sudah diketahui pemerintah, namun upaya untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi dinilai tidak optimal. Penanganan bencana alam memerlukan adanya problem solving (kaifiyah mu’alajah), metode pelaksanaan (kaifiyah tanfidz), metode penegakkan (kaifiyah tatbigh) yang berdasarkan aqidah dan hukum yang dapat memberikan jawaban yang benar dan baik.
Islam sebagai agama dan ideology memiliki solusi yang menyeluruh di semua aspek kehidupan manusia. Masalah bencana Alam merupakan kehendak Allah yang menciptakan manusia, alam, dan kehidupan yang tidak bisa dihindari manusia, akan tetapi manusia memiliki wilayah untuk tawakal dan ikhtiar akan segala kemungkinan yang terjadi. Problem solving penanganan bencana alam mestinya dilakukan dengan metode yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal yang pertama dilakukan dalam penanggulangan bencana alam adalah menolong korban yang masih hidup untuk menyelamatkan nyawanya, di mana banyak kejadian yang menyedihkan akibat lambannya pertolongan menyebabkan korban nyawa tidak tertolong, kisah korban yang terjepit, tertimbun, terapung, hingga berhari-hari tidak makan dan minum hampir pasti terus terjadi ketika bencana alam melanda suatu daerah. Kondisi yang demikian sangat membutuhkan pertolongan segera. Kelambanan dalam memberikan pertolongan akan mengakibatkan masalah yang fatal, apalagi kalau jumlah korbanya sangat banyak, tentu hal ini sangat butuh ketanggapan dan kesigapan pemerintah dalam memberikan pertolongan terhadap para korban bencana. Jatuhnya korban Tsunami di Mentawai yang mencapai 450 orang (vivanews/4/11/10) amat disayangkan karena 12 jam berikutnya baru diketahui dan belum ada tindakan yang signifikan khususnya dari pemerintah daerah, padahal waktu tersebut bisa dibilang sangat lama. Akibat kelambanan dalam penanganan sering dijumpai korban bencana yang sampai berhari-hari belum mendapatkan pertolongan bahkan ada yang sampai meninggal dunia. Pertolongan korban bencana harus dilakukan sesegera mungkin apalagi teknologi saat ini sudah maju untuk memantau dan mengkomunikasikan setiap kejadian yang terjadi. Evakuasi korban ke tempat yang aman adalah hal pertama yang harus dilakukan dengan memberikan logistik yang memadai seperti kebutuhan makan, obat-obatan, pakaian, selimut dll yang dirasa vital. Tidak boleh ada alasan apapun untuk menunda memberikan bantuan, sebab itu sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk mengatasinya. Pemerintah dapat mengerahkan tentara-tentaranya terlatih yang tidak diragukan lagi kemampuannya untuk menembus lokasi bencana walaupun dianggap sulit dan penuh resiko. Alat-alat berat harus dikerahkan untuk membantu lancarnya akses bantuan dan memulihkan infrastruktur yang ada. Pemerintah tidak boleh hanya sekedar berkunjung meninjau lokasi bencana untuk mendengarkan keluhan para korban tanpa memberikan bantuan yang signifikan, apalagi hanya sekedar untuk pencitraan, yang kemudian melempar tanggung jawabnya kepada masyarakat dengan dalih bahwa masalah bencana adalah masalah bersama. Mengajak masyarakat untuk peduli bencana adalah hal yang baik, akan tetapi pemerintah tidak boleh lepas dari tanggung jawabnya, sebab masyarakat tidak memiliki kewajiban untuk memikul permasalahan itu, tetapi negaralah yang harus bertanggung jawab atas seluruh warga negaranya.
Kejadian Tsunami di Mentawai mestinya tidak sampai memakan banyak korban kalau pemerintah melakukan koordinasi dengan baik, sehingga masyarakat dapat mempersiapkan diri untuk melakukan pengungsian ke tempat yang aman. Antisipasi pemerintah sebagai upaya untuk memberikan rasa aman kepada rakyatnya adalah wajib dilakukan. Gunung-gunung berapi yang masih aktif harus senantiasa dipantau aktivitasnya dan disampaikan kepada masyarakat, begitu pula pemasangan detektor sebagai peringatan dini di seluruh titik yang diperkirakan berpotensi gempa & tsunami harus dilakukan walaupun dengan biaya yang cukup besar. Karena semua itu sudah menjadi tanggung jawab negara melindungi rakyatnya dari segalam acaman yang membahayakan keselamatan jiwa seseorang.
Besarnya biaya untuk mengantisipasi dan menanggulangi bencana alam mestinya tidak lagi dijadikan alasan karena tidak ada anggaran, pemerintah tidak boleh menghindar dari tanggung jawabnya. Menurut Kemensos anggaran negara tahun 2010 untuk bencana alam turun sekitar 3,6 triliun, angka ini kelihatannya besar padahal kalau kita lihat kerugian yang diderita masyarakat jauh lebih besar, apalagi bantuan kemensos untuk korban letusan gunung Merapi hanya 1,5 milyar dan untuk korban di Mentawai hanya 1 milyar sementara kerugian diperkirakan mencapai puluhan hingga ratusan milyar. Jadi bantuan sebesar itu yang diberikan kurang memadai untuk diberikan kepada korban bencana alam dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan pemerintah maupun anggota dewan untuk plesir ke luar negeri yang untuk tahun 2010 ini mencapai Rp. 162,94 milyar (Tempo,1/11/10). Sangat ironis sekali di tengah situasi tanah air dilanda bencana masih ada anggota dewan yang ngotot keluar negeri hanya untuk belajar kode etik dan plesir saja, sementara ribuan rakyat menjerit membutuhkan uluran tangan.
Masalah anggaran pemerintah juga tidak perlu mengharapkan bantuan luar negeri seperti AS dan sekutunya karena dibalik bantuan itu ada kepentingan yang disembunyikan sebagaimana bantuan-bantuan luar negeri tsunami di Aceh yang lalu. Rencana kedatangan Obama kali inipun dinilai banyak kalangan tidak lepas dari kepentingan politik luar negeri AS terhadap perekonomian maupun politik di Indonesia, yaitu guna mengamankan dominiasinya di negeri ini sebagai penjajah. Oleh karena itu, pemerintah beserta seluruh rakyat harus waspada setiap bantuan-bantuan asing. Kejadian bencana alam yang melanda saat ini hanya sebagian kecil wilayah Indonesia, anggaran-anggaran yang tidak penting seperti kunjungan ke luar negeri lebih baik dialokasikan untuk korban bencana sehingga ribuan nyawa rakyat dapat teselamatkan.


Kejelasan Penanggung jawab
Setiap penanganan bencana alam yang terjadi harus ada yang bertanggung jawab secara jelas. Apakah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Bupati, Gubernur, atau Presiden yang harus bertanggung jawab, karena selama ini terkesan saling lempar tanggung jawab akibatnya korban bencana alam harus rela menunggu bantuan berjam-jam hingga berhari-hari. Di samping itu, tidak adanya tindakan cepat membuat bantuan-bantuan tersebut menumpuk di posko/gudang karena tidak ada kejelasan yang bertanggung jawab mendistribusikannya. Keterlambatan bantuan dapat mengakibatkan masalah yang fatal, seperti banyak korban yang tidak terselamatkan dan terlantar, dan kejadian seperti ini terus berulang setiap kali ada bencana alam tanpa adanya perbaikan sistem penanganan yang signifikan.
Anehnya lagi, selama ini para penanggung jawab tidak pernah diajukan kepengadilan atas kelalainnya menjalankan kewajibannya sebagai pemimpin. Oleh Karena itu, penegakkan hukum (kaifiyah tatbigh) harus dilakukan guna optimalisasi penanganan bencana, jangan sampai ada kesan bagi para korban bencana‘sudah terjatuh tertimpa tangga pula’. Di tengah penderitaan yang dialami korban bencana terkadang masih ada pihak-pihak yang mengatasnamakan golongan tertentu bermaksud menolong namun kenyataannya malah mengeksploitir para korban. Banyak bantuan-bantuan yang tidak sampai ke tangan korban akan tetapi masuk ke pihak-pihak yang sengaja memanfaatkan momen tersebut demi kepentingan pribadi mauapun kelompok. Oleh karena itu, harus ada penanggung jawab yang jelas dan jika lalai dari tanggung jawabnya harus dibawa ke pengadilan. Apabila kejadiannya bencana di tingkat daerah maka Bupati yang harus diajukan ke pengadilan jika terbukti menelantarkan para korban, begitu pula jika bencana itu terjadi dalam lingkup wilayah atau nasional maka Gubernur atau Presiden harus diajukan ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan kapasistasnya sebagai kepala daerah atau kepala negara. Karena mereka semua adalah pemimpin yang berkewajiban memberikan pelayan kepada seluruh rakyatnya, Rasulullah saw. Bersabda, “Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya atas orang-orang yang dipimpinnya” (HR. Ibnu Umar r.a )

Menjadikan Idul Adha Sebagai Momen Berkorban
Momen Idul Adha yang sebentar lagi tiba dapat dijadikan sebagai momen untuk berkorban untuk saudara-saudara kita yang berada di Wasior, di Mentawai maupun yang di sekitar gunung Merapi sedang diuji Allah swt berupa bencana alam. Di momen yang mulia ini mestinya para pejabat negara berani dan bersunguh-sungguh mengorbankan segala sesuatu yang dimilikinya untuk menolong dan memulihkan kembali keadaan yang dialami para korban bencana alam tersebut. Karena para pejabat negaralah yang banyak memiliki kekuasaan untuk melakukan itu. Momen Idul Adha akan memiliki makna yang mendalam tatkala kita dapat mengambil hikmah atas perngorbanan yang dilakukan oleh Nabiullah Ibrohim dan keikhlasan Nabiullah Ismail. Untuk itu hendaknya kita senantiasa ingat perintah Allah sebagaimana yang difirmankan dalam Surah Al Kautsar 1-2: “Sesungguhnya Kami telah memberikan nikmat yang banyak. Maka dirikanlah sholat karena Tuhan-mu dan berkurbanlah”. Wallahu a’lam bishowwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar