Jumat, 10 Desember 2010

KONFLIK BERKEPANJANGAN PUSAT DAN DAERAH: APA SOLUSINYA?

Pemerintah Republik Indonesia sedang menggodok undang-undang keistimewaan bagi propinsi Jogyakarta (DIJ) melanjutkan undang-undang sebelumnya. Setelah meminta masukan berbagai kalangan, seperti kalangan akademisi, kalangan kraton dan kalangan tokoh masyarakat, pemerintah mengajukan RUU keistimewaan ini untuk digodok dan ditetapkan oleh DPR. Bahkan pemerintah membentuk tim khusus yang diketuai Mendagri Gamawan Fauzi untuk berkomunikasi dengan kraton Jogya dan sejumlah pakar. (JPNN.com, Selasa, 07 Desember 2010). Di dalam rancangan undang-undang tersebut diatur berbagai hal seperti hakikat keistimewaan Jogyakarta, keberadaan kraton, wewenang kraton, hak kraton, dll.
Jasa kraton di Jogyakarta pada masa lalu dianggap sangat besar, khususnya dalam melawan invasi Belanda dan mendukung kelahiran negara Indonesia. Bahkan konon kabarnya kraton di Jogyakarta pernah menggaji aparat pemerintah Indonesia saat ibu kota terpaksa berpindah dari Jakarta ke Jogyakarta karena invasi Belanda senilai Rp 5 juta gulden (Suaramerdeka.com). Jumlah itu saat ini diperkirakan senilai Rp 1,1 trilyun. Selain itu, Kerajaan Jogyakarta dan Kadipaten Pakualam telah lebih dulu ada dibandingkan negara Indonesia. Keduanya menyatakan bergabung ke negara Indonesia dengan mengeluarkan dekrit yang dikenal dengan nama Amanat 5 September 1945. Adapun Sultan terdahulu, yaitu HB IX pernah menjabat sebagai wakil presiden sejak 1973 sampai dengan 1978. Latar belakang sejarah ini yang mendorong pemerintah menggodok RUU Keistimewaan Jogyakarta.
Permasalahannya dalam RUU tersebut terdapat kemungkinan bahwa pimpinan kraton Jogyakarta tidak otomatis menjadi gubernur memimpin DIJ, namun harus bersaing dengan calon lain melalui pemilihan di daerah tersebut. Bahkan ada kemungkinan sultan kalah dalam pemilihan daerah dan tidak menjadi gubernur DIJ. Kalau di masa lalu hingga saat nantinya RUU ditetapkan, sultan pasti gubernur propinsi DIJ, namun mulai setelah RUU ditetapkan, sultan belum pasti gubernur propinsi DIJ.
Terjadilah konflik akibat RUU tersebut. Pihak yang tetap menginginkan sultan sebagai gubernur DIJ berhadap-hadapan dengan pihak pemerintah yang mendukung RUU. Kalangan pemerintahan desa di beberapa daerah di DIJ mengharapkan sultan tetap menjadi gubernur, berbagai kelompok masyarakat di DIJ menyerukan referendum dan ada juga kalangan akademisi yang menunjukkan fakta bahwa sultan tidak pernah memposisikan sebagai raja dalam sistem kerajaan. Bahkan ada yang membuat pos relawan berani mati untuk membela keistimewaan Jogyakarta. Sebaliknya pendukung RUU mengemukakan bahwa sebagian besar rakyat DIJ menyetujui pemilihan gubernur dan mengemukakan kekuatiran sistem kerajaan tidak sesuai dengan konstitusi dan demokrasi. Ada juga yang melihat dari sisi keadilan. Kraton-kraton lain tidak ada yang dijadikan daerah istimewa, padahal di antara mereka pernah menyumbang hingga Rp 12 juta gulden (lebih dari 2 kali sumbangan kraton Jogyakarta) dan ada pula yang pernah mendapatkan keistimewaan namun dibatalkan.

KONFLIK BERKEPANJANGAN
Sebenarnya permasalahan keistimewaan Jogyakarta adalah permasalahan yang sudah terjadi sejak jaman dahulu. Berbagai usaha telah dilakukan namun berkaitan dengan kepemimpinan selalu tidak memuaskan salah satu pihak. Jika pihak kraton setuju, pihak negara tidak setuju. Sebaliknya bila pihak negara setuju, pihak kraton tidak setuju. Sebagai contoh pada sidang PPKI tanggal 19 Agustus 1945, pihak kraton Jogyakarta melalui Pangeran Puruboyo meminta otonomi penuh, namun Sukarno menolak. Setelah itu, 1946, terjadi konflik yang tidak kunjung selesai antara BPKNID (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah) Jogyakarta yang menghendaki Jogyakarta menjadi daerah biasa dengan kraton yang menghendaki daerah istimewa. Pernah juga pemerintah pusat membentuk ‘kotamadya’ Jogyakarta pada tahun 1948, di mana hal itu disebabkan pemerintah pusat harus mengungsi dan pindah ke Jogyakarta. Pembentukan itu menimbulkan keberatan dari kraton. Keberatan baru reda setelah walikota pertama turut mengungsi bersama presiden Soekarno karena Jogyakarta diduduki oleh Belanda dan walikota penggantinya diangkat melalui SK negara dan SK Kraton. Selanjutnya hingga masa prareformasi, terdapat berbagai permasalahan berkait wilayah kekuasaan Jogyakarta, kedudukan abdi dalem kraton sebagai pegawai negara dan pemisahan tugas dan tanggung jawab antara kraton dengan negara. Permasalahan tersebut dapat diatasi selama yang memerintah di Jogyakarta tetap dua kraton Jogyakarta.
Ketika Sri Paku Alam VIII meninggal pada tahun 1998, yang mana beliau waktu itu melanjutkan kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang meninggal 10 tahun sebelumnya (1988), masalah kepemimpinan di Jogyakarta kembali bergolak. Pihak legislatif yang didukung pemerintahan pusat menginginkan pemilu, namun pihak kraton menginginkan penetapan Sri Sultan HB X sebagai gubenur. Atas desakan berbagai pihak, pemerintah pusat menetapkan Sri Sultan HB X sebagai gubenur dari tahun 1998 – 2003. Peristiwa itu terulang kembali untuk masa jabatan gubernur Jogyakarta tahun 2003 – 2008. Namun, sepertinya pemerintah pusat tidak ‘ikhlas’. Hal itu dibuktikan dengan tidak ditanggapinya UU keistimewaan Jogyakarta yang diajukan oleh pemerintahan DIJ. Dua kali mengajukan, dua kali pula tidak ditanggapi.
Menyikapi hal itu, pada tahun 2007, Sri Sultan HB X membuat manuver politik dengan mempersiapkan diri untuk pencalonan presiden/wakil presiden Indonesia dan menyatakan tidak bersedia kembali menjadi gubernur DIJ. Manuver tersebut ditindaklanjuti dengan pembuatan RUU keistimewaan DIJ oleh DPD maupun DPRD Jogyakarta. Namun demikian, hingga akhir tahun 2008 belum ada pengesahan dari pemerintah pusat. Yang dilakukan pemerintah pusat adalah memperpanjang jabatan Sri Sultan HB X sebagai gubernur DIJ dan sebagaimana sedang terjadi mempersiapkan RUU keistimewaan DIJ yang sesuai dengan pandangan pemerintah. Terhadap manuver pemerintah pusat ini, gantian pihak kraton yang keberatan dan menolak.
Dengan demikian, pada saat ini terjadi konflik berkepanjangan antara pemerintah pusat Indonesia dengan pemerintah daerah Jogyakarta. Selama kedua belah pihak tidak mau berubah, pastilah konflik tersebut akan terus terjadi hingga kiamat dan kedua belah pihak akan mempertanggungjawabkannya kepada Allah SWT di hari kiamat kelak. Sebagaimana disampaikan sahabat Abu Hurairoh, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Kalian akan berebut untuk mendapatkan kekuasaan, sedangkan kekuasaan itu adalah penyesalan di hari kiamat, nikmat di awal dan pahit di ujung. (HR Bukhori). Adapun perubahan tersebut haruslah sesuai dengan ajaran agama Islam, baik perubahan pada pemerintah pusat ataupun pada pemerintah daerah. Kalau perubahan itu dilaksanakan dengan baik pasti tidak terjadi konflik berkepanjangan antara pusat dengan daerah, bahkan pusat dan daerah menjadi kesatuan yang sempurna. Hal itu sebagaimana telah dilaksanakan oleh Rasulullah SAW yang menyatukan jazirah Arab dalam kesatuan yang sempurna di bawah kepemimpinan beliau di Madinah. Pada waktu itu berbagai daerah di jazirah Arab berbondong-bondong bergabung kepada Islam. Allah SWT berfirman dalam surat An Nashr ayat 1-3: “Jika telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepadaNya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat”. Perubahan-perubahan apa yang diperlukan untuk menghentikan konflik berkepanjangan yang terjadi?

Pemerintahan Pusat Yang Mensejahterakan
Harus diakui bahwa pemerintah pusat Indonesia sangat terbatas dalam mensejahterakan rakyatnya. Untuk kasus di Jogyakarta keterbatasan jelas sekali terlihat dalam masalah penanganan korban bencana gempa dan gunung merapi meletus. Keterbatasan semakin jelas kalau memperhatikan bahwa di masa lalu pegawai negara dan kegiatannya pernah dibiayai oleh kraton Jogyakarta. Sedangkan pada masa ini negara banyak dibiayai oleh pemberi hutang. Dampak dari keterbatasan itu adalah ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah pusat. Inilah yang harus dilakukan pemerintahan pusat, yaitu menjadi pemerintahan pusat yang mensejahterakan rakyat.
Permasalahannya, mensejahterakan rakyat bukan sekadar membagi-bagi duit kepada rakyat, namun mencakup juga seluruh aspek hukum dan pemerintahan. Selama hukum dan pemerintahan yang digunakan adalah hukum dan pemerintahan kapitalis, sulit kesejahteraan akan terwujud, kecuali di atas kertas sedangkan faktanya banyak anggota masyarakat yang mengalami permasalahan ekonomi.
Dalam hal ini hukum dan pemerintahan haruslah hukum dan pemerintahan yang tidak jahiliyah. Allah SWT berfirman dalam surat Al Maidah ayat 50: ”Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik dari (hukum) Allah, bagi orang-orang yang yakin?”. Dengan inilah berbagai kebahagiaan dan kemakmuran di tengah rakyat akan terjadi, termasuk kesejahteraan. Diterapkannya hukum Allah SWT dan terwujudnya kesejahteraan masyarakat akan berdampak pada meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan pusat.

Pemerintah Daerah Yang Amanah
Problem pemerintah daerah bukan mewujudkan kekuasaannya di daerah itu dengan berdasarkan alasan sejarah ataupun kehendak rakyat. Hal itu akan menyebabkan kemungkinannya adanya “matahari kembar”, berupa kekuasaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pastinya, hal itu menyulitkan rakyat untuk mengikuti dan mentaati.
Problem pemerintah daerah adalah mewakili pemerintah pusat dalam mewujudkan hukum Allah SWT di daerah dan kesejahteraan masyarakat daerah. Dengan kata lain, pemerintah daerah adalah kepanjangan tangan dari pemerintah pusat dalam mewujudkan hukum Allah SWT di daerah dan kesejahteraan masyarakat daerah. Kisah Rasulullah SAW yang ridlo kepada Muadz bin Jabal ketika diutus menjadi penguasa di daerah Yaman menunjukkan hal itu. Pada waktu itu Muadz bin Jabal ditanya dan memberi jawaban yang memuaskan Rasulullah SAW. “Bagaimana engkau memberi keputusan jika dihadapkan kepadamu sesuatu yang harus diberi keputusan? Ia menjawab: Aku akan putuskan dengan Kitab Allah. Nabi bertanya: Jika engkau tidak dapatkan dalam kitab Allah? Ia menjawab: Dengan Sunnah Rasulullah. Nabi bertanya: Jika tidak ada dalam sunnah Rasulullah? Ia menjawab: Aku akan berijtihad dengan pendapatku dan seluruh kemampuanku. Maka rasulullah merasa lega dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah dalam hal yang diridhai oleh Rasulullah SAW. (Ahmad, Turmudzi, Abu Daud). Oleh karena itu yang diperlukan adalah pemerintah daerah yang amanah terhadap pemerintah pusat yang mewujudkan hukum Allah SWT dan kesejahteraan rakyat.

KESIMPULAN
Seharusnya di suatu negara tidak terjadi konflik berkepanjangan tanpa penyelesaian. Yang ada adalah kemuliaan yang berkepanjangan dan kesejahteraan yang berkepanjangan. Konflik antara pusat dengan daerah dapat diatasi melalui kearifan kedua belah pihak. Pemerintah pusat mensejahterakan seluruh rakyat dengan hukum Islam, sedangkan pemerintah daerah memposisikan sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat dalam hukum dan kesejahteraan. Pastilah dengan cara itu rakyat akan mempercayai pemerintah pusat dan daerah.
SELAMAT DAN SUKSES ATAS TERSELENGGARANYA STUDI ISLAM INTENSIF TINGKAT MENENGAH DAN LANJUTAN YANG DISELENGGARAKAN FORUM KOMUNIKASI MASJID JAWA TENGAH PADA TANGGAL 6 DAN 7 DESEMBER 2010 DI KOTA SURAKARTA. SEMOGA MENGHASILKAN PRIBADI MUSLIM YANG SIAP MENDAKWAHKAN AGAMA ISLAM DENGAN BAIK DAN BENAR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar