Kamis, 10 Februari 2011

Menakar Kredibilitas Pejabat Negara Dalam Melayani Urusan Rakyat


Rencana kenaikan gaji presiden menuai Pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. Mereka yang tidak setuju menilai bahwa kenaikan gaji presiden tersebut sangatlah tidak etis, sebab situasi perekonomian bangsa masih sangat sulit dan masih banyaknya permasalahan yang belum teratasi, misal saja: masalah kemiskinan, pengangguran, gizi buruk, mahalnya pendidikan, mahalnya kesehatan, dll. Meskipun presiden sendiri tidak meminta kenaikan gaji, namun pernyataannya pada sambutan di hadapan prajurit TNI memunculkan opini publik bahwa gaji presiden perlu naikan, hingga muncul aksi pengumpulan koin untuk diberikan presiden. Rencana kenaikan gaji presiden akhirnya merembet ke 8.000 orang pejabat pemerintahan di pusat maupun di daerah yang juga kalau gaji mereka dinaikkan juga. Kenaikan gaji presiden atau para pejabat tersebut dinilai sebagian tokoh wajar, mengingat tugas yang berat dan prestasi yang telah diukir hingga saat ini. Benarkah selama para pejabat tersebut telah banyak prestasinya dalam membangun bangsa dan Negara ini? Bagaimanakah pandangan Islam terhadap gaji pejabat Negara?

Memimpin Bukan Mencari Keuntungan
Mengukur kenaikan gaji presiden dengan pencapaian prestasi dalam membangun bangsa ini boleh-boleh saja, akan tetapi hal itu dirasa kurang tepat, apalagi adanya klaim kalau presiden dan para pejabat telah banyak kemajuan tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Apabila kita tengok keadaan bangsa ini masih carut marut hampir di semua aspek kehidupan. Sejumlah masalah hingga saat ini belum juga dapat dituntaskan, mulai pemberantasan korupsi, pemberantasan mafia hukum, kemiskinan, pengangguran, pendidikan, kesehatan, stabilitas keamanan dan politik, dll. Program pemberantas korupsi dan mafia hukum masih banyak yang belum diungkap apalagi dibongkar sampai dalang-dalangnya. Pemerintah dan aparat hukumnya dinilai tebang pilih dalam penegakkan hokum karena hanya rakyat kecil saja yang dihukumi, sementara itu para koruptor, pelaku suap, atau pelaku kriminal lainnya tidak dibongkar hingga aktor intelektual. Seperti orang-orang yang terlibat dalam kasus bail out bank century yang telah merugikan Negara Rp. 6,7 trilliun tidak diadili, hal itu dikarenakan adanya tarik ulur kepentingan politik antara pemerintah dengan sejumlah elit politik. Begitupun kasus mafia pajak yang melibatkan para pejabat Negara dan para pengemplang pajak juga belum disentuh hukum, barangkali cukup sosok Gayus sajalah yang di seret ke pengadilan. Ini merupakan bukti ketidakseriusan pemerintah dalam menegakkan keadilan hukum bagi seluruh warga Negara, hukum seolah hanya berlaku pada rakyat kecil saja, tidak untuk pejabat walaupun sebenarnya telah banyak pejabat yang tersandung kasus hukum.
Keadaan sosial ekonomi sesunguhnya tidak menggembirakan sebab angka pengangguran per Agustus 2008 saja mencapai 9,39 juta jiwa (Tempo Interaktif, 5/1/2009). Sementara itu jumlah masyarakat miskin menurut BPS mencapai 32 juta orang, sedangkan menurut Bank Dunia rakyat miskin mencapai 100 juta jiwa. Belum lagi kasus gizi buruk, anak putus sekolah, kasus Kriminal dll. Jika melihat keadaan di lapangan sesungguhnya tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia masih jauh dari kesejahteraan, hidup mereka sangat memprihatinkan hingga beberapa waktu yang lalau muncul kasus bahwa ada 6 orang warga di pati Jawa tengah yang tewas karena keracunan makanan tiwul. Padahal kalau kita tengok kehidupan para pejabat Negara baik pusat maupun daerah sangat tercukupi, mayoritas penuh dengan pelayanan dan fasilitas mewah, mulai dari rumah dinas beserta perlengkapan dan kebutuhan oprasional di dalamnya, mobil dinas, pengawal, hingga tunjangan-tunjangan lainnya yang sangat besar. Menurut Menteri Keuangan Agus Martowardojo hingga saat ini, gaji total yang diterima seorang Presiden Republik Indonesia mencapai Rp. 62,74 juta per bulan, terdiri atas gaji pokok Rp. 30,24 juta dan tunjangan Rp. 32,5 juta. Di luar gaji yang diterima, untuk menunjang kegiatan dinas Presiden telah dianggarkan Rp. 2 miliar per bulan, dana operasional (taktis) tersebut dikelola rumah tangga kepresidenan. Di samping itu, juga ada fasilitas berupa rumah dinas, mobil dinas, ajudan, dokter, hingga pasukan pengawal presiden. Semua fasilitas tersebut telah disediakan Negara untuk menunjang kegiatan presiden dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai kepala negara.
Jabatan sebagai kepala Negara (presiden) ataupun pejabat daerah (Gubernur/Walikota/Bupati) lainnya merupakan amanah untuk mengabdi kepada bangsa dan Negara, yaitu mengurus rakyat tanpa mengharapkan imbalan apalagi keuntungan dari jabatannya tersebut, karena fasilitas dalam rangka menjalankan tugas tersebut telah diberikan sangat memadai. Oleh karena itu, sangat aneh kalau masih banyak para pejabat yang menginginkan kenaikan gaji atau tunjangan, lebih aneh lagi kalau mereka beserta keluarga dan kroni-kroninya malah menanfaatkan jabatannya untuk mengeruk keuntungan, yang ujung-ujungnya banyak para pejabat yang berlaku korupsi. Menurut sumber berita dari Kementerian Dalam Negeri, 125 Kepala Daerah dari 524 Kepala daerah yang tersebar di seluruh tanah air tersandung kasus korupsi, ada yang statusnya tersangka, terdakwa bahkan sudah divonis, tapi anehnya ada kepala daerah yang masih ngantor, padahal rakyat menghendaki kepala daerah yang tersangkut kasus hukum untuk tidak ngurus rakyat (www.depdagri.go.id). Keadaan yang demikian tentu sangat mengganggu proses pelayanan kepada masyarakat tapi inilah kenyataannya yang terjadi dalam sistem pemerintahan yang berdasarkan demokrasi kapitalisme, semua bisa dikompromikan karena memang sistem yang ada mendukung untuk itu.

Hak dan Kewajiban Pejabat Kepemimpinan Negara
Dalam pandangan Islam menjadi pejabat Negara bukan untuk mencari popularitas, apalagi keuntungan materi pribadi maupun golongan, akan tetapi seorang pejabat Negara seperti kepala Negara atau kepala daerah memiliki amanah dan tanggung jawab sebagai pelayan bagi rakyatnya. Pemimpin mempunyai tangung jawab yang besar untuk melayani kebutuhan seluruh rakyatnya, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda : “Setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang imam (adalah) pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya” (HR. Bukhari & Muslim). Dengan demikian setiap kebijakan yang ditetapkan seorang pemimpin memiliki konsekuensi di mata hukum, baik di dunia terlebih di akhirat kelak, apabila keputusan pemimpin tersebut benar menurut akidah dan hukum Islam selamatlah dia, akan tetapi jika menyimpang dia maka telah berbuat dzolim dan di akhirat akan mintai pertanggungjawaban. Oleh karena itu, Islam menjadikan akidah dan hukum Islam sebagai landasan dalam tegaknya syari’at kepemimpinan. Seorang kepala Negara diangkat oleh kaum muslimin dengan akad untuk menerapkan dan melestarikan aqidah dan hukum Islam secara ke seluruhan serta mengemban dakwah Islam ke luar negeri.
Mengurus rakyat merupakan bagian dari syari’at kenegaraan yang menjadi tanggung jawab kepala Negara. Kepala Negara berkewajiban memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok rakyatnya, yaitu makan, pakaian, dan tempat tinggal, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Negara tidak boleh lalai atau menelantarkan rakyatnya hingga mati, seperti kasus yang di alami keluarga pasangan Jamhamid dan Siti Sunayah yang tinggal di Desa Jebol, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, karena tidak memiliki uang untuk membeli beras, akhirnya tiwul (bahan pokok ketela pohon) yang dicampur dengan gula aren dan parutan kelapa dijadikan sebagai alternatif pengganti nasi, namun naas makanan tiwul tersebut diduga beracun sehingga menyebabkan 6 anaknya meninggal dunia. Peristiwa ini seharusnya tidak boleh terjadi, kalau kepala daerah atau kepala Negara betul-betul menjalankan amanahnya dalam mengurus rakyatnya. Setelah kejadian ini pun tidak ada yang merasa bersalah untuk mempertanggungjawabkan di hadapan hokum atas kelalaian memelihara rakyatnya, tetapi kejadian itu berlalu begitu saja. Kalau kita ingat kisah amirul mukminin Umar bin Khothob ra. ketika menjadi kholifah (kepala Negara), beliau pada suatu malam ketika berpatroli mendapati salah satu rakyatnya yang miskin, di mana anaknya menangis terus karena kelaparan dan sang ibu pun hanya bisa menghibur dengan memasak batu hingga anaknya tertidur lelap. Melihat keadaan rakyatnya yang demikian ini, umar ra. yang saat itu ditemani Aslam bergegas kembali ke gudang baitul mal untuk mengambil sekarung gandum, daging dan susu untuk diberikan kepada rakyatnya yang kelaparan tersebut. Umar ra. Karena merasa takut akan pertanggungjawabannya di hadapan Allah kelak, maka beliau mengangkat sendiri karung yang berisi gandung tersebut ke rumah rakyatnya yang kelaparan tersebut.
Para Kepala Negara baik Rasulullah SAW dan para kholifah sepeninggalnya ketika menjabat sebagai kepala negara tidak terbesit dalam hatinya untuk mengeruk keuntungan untuk diri dan keluarganya, justru didapati Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar ra, Umar bin Khothob ra. Ustman ra. Dan Ali ra. adalah hamba-hamba Allah yang sangat sederhana masalah harta, walaupun dalam sejarah Islam didapati kepala Negara yang melakukan kedzoliman seperti yang dilakukan Mu’awiyah yang lebih mementingkan diri dan keluarganya dalam urusan harta. Namun mayoritas para kepala negara pada masa-masa pemrintahan Islam mereka hidup sederhana tidak memanfaatkan jabatannya untuk urusan duniawi semata, tetapi mereka bersungguh-sungguh dalam mengurus urusan rakyat hingga pada jaman keemasan Islam pada pasa kholifah Umar bin Abdul Azis karena kemakmuran dan kesejahteraannya hingga mencari rakyat miskin untuk diberi zakat.
Sedangkan terkait dengan kebutuhan kepala Negara, keluarga, dan jabatan kepemimpinan lainnya dalam negara islam maka akan ditanggung Negara berupa iwath (penggati hidup), hal ini berdasarkan ijma’ sahabat, ketika kholifah Abu Bakar ra. tidak didapati Umar mengurus rakyatnya, kemudian Umar ra. menanyakan keberadaan Abu Bakar, ternyata didapati Abu Bakar sedang berdagang untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Saat itu juga umar dan para sahabat yang lainnya berkumpul sehingga disepakati adanya iwath kepada kholifah dan keluarganya yang masih menjadi tanggungannya sehingga kewajibannya sebagai kholifah tidak meninggalkan. Rasulullah pun membolehkan adanya fasilitas bagi kepala Negara ataupun pejabat, pegawai tetapi sesuai dengan haknya, sebagaimana sabdanya: “Siapa saja yang bekerja untuk kami dan tidak punya rumah tinggal hendaklah dia mengambil rumah tinggal, atau kalau dia tidak punya istri hendaknya dia menikah, dan jika tidak punya pembantu hendaknya dia mengambil pembantu, dan tidak punya hewan tunggangan hendaknya dia mengambil hewan tunggangan, dan siapa saja mengambil selain itu maka dia adalah koruptor” (HR. Abu Dawud).
Jadi dalam pandangan Islam tidak ada yang namanya gaji kepala negara, kepala daerah (wali/amil), dan jabatan kepemimpinan lainnya. Karena jabatan tersebut bukanlah sebuah pekerjaan melainkan sebagai pemimpin yang diangkat oleh umat dengan aqad untuk menerapkan dan melestarikan syari’at Islam dan mengemban dakwah Islam ke luar negeri sehingga tidak boleh diberikan gaji. Namun demikian Negara memberikan ganti biaya hidupnya (iwath). Sedangkan jabatan pegawai/pekerja secara umum merupakan aqad ijarah antara pemberi kerja dengan penerima kerja, oleh karena itu hak bagi pegawai/pekerja adalah upah (gaji), dan soal penentuan gaji pegawai/pekerja ditentukan berdasarkan ukuran keumuman yang berkaitan dengan pekerjaan tertentu. Yang menentukan ukuran nilai sebuah pekerjaan bukanlah dari pekerja atau pengusaha melainkan lembaga khusus yang bertugas menaksir nilai dari sebuah pekerjaan. Sedangkan untuk kesejahteraan bukanlah termasuk dalam komponen penetapan gaji pegawai/pekerja melainkan merupakan tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan pokok bagi setiap warganya. Demikian pula bagi pemimpin-pemimpin negara dalam menjalankan tugas bukanlah untuk mendapat kesejahteraan melainkan bagaimana menjalankan kekuasaan yang sudah diwakilkan oleh rakyat kepada dirinya dengan baik. Wallahu a’lam bisshowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar