Sabtu, 05 Maret 2011

BELAJAR DARI KEMELUT DI TUNISIA DAN MESIR

Secara mengejutkan, revolusi rakyat meledak di Tunisia dan Mesir. Sebuah negeri kecil nan indah di wilayah Arab Barat atau Afrika Utara yang selama ini tergolong lebih stabil dibandingkan negara-negara Arab yang lain. Pengamat selama ini memperkirakan peristiwa semacam itu akan terjadi bukan di Tunisia dan Mesir, namun di negara-negara Arab dengan oposisi kuat. Protes rakyat di berbagai belahan negeri Tunisia selama kurang dari satu bulan berhasil meruntuhkan kekuasaan diktaktor Ben Ali yang ditopang penuh oleh intelejen dan kepolisian. Sebagian masyarakat Arab menyambut peristiwa itu dengan gegap gempita dan penuh suka cita. Demikian pula hal ini terjadi di Mesir dan akhirnya pada 11 Februari 2011 presiden Hosni Mubarakpun dipaksa mundur oleh para pengunkuk rasa. Bahkan saat ini kejadian yang sama terjadi dan meluas sampai keSudan, Yaman, Iran dan Yordania. Dan tidak menutup kemungkinan akan lebih luas lagi. Sebenarnya apa yang terjadi sehingga peristiwa Tunisia, Mesir, Sudan, Yordania bisa menjadi gelombang besar yang mampu meruntuhkan rezim-rezim Arab yang pada umumnya telah berkuasa lebih dari 20 tahun?

Kegagalan Demokrasi
Gerakan revolusioner yang luar biasa dari kaum pekerja dan pemuda Tunisia yang berakhir dengan penggulingan diktator Zine al-Abidine Ben Ali (Zaenal Abidin Bin Ali, pent.) setelah 23 tahun berkuasa membuat hampir semua orang terkejut, termasuk pemerintah Tunisia. Pada tanggal 6 Januari majalah The Economist dengan yakin mengatakan: "Kekacauan di Tunisia tidak mungkin akan menggeser seorang presiden berumur 74 tahun ini atau pun menggoyang model otokrasinya". Negeri Afrika Utara ini dilihat sebagai sebuah tempat dengan stabilitas dan kemakmuran yang relatif, meskipun diperintah dengan sangat kejam. Bagi para investor asing, Tunisia telah menjadi tempat yang aman untuk berinvestasi dan tempat sumber tenaga kerja murah. Bagi para wisatawan, Tunisia merupakan tempat untuk berjemur di bawah terik matahari dan menikmati hidup.
Kejadian di Tunisia sebenarnya berawal dari insiden kecil yaitu pembakaran diri seorang pedagang buah di kota Sidi Bouzid yang percikannya menyebabkan kebakaran besar. Mohamed Bouazizi, seorang pemuda yang membakar diri, pada kenyataannya, seorang lulusan universitas yang, seperti banyak orang lainnya, tidak dapat menemukan pekerjaan yang sesuai. Ia mencoba untuk menyambung hidup dengan menjual buah-buahan dan sayuran, tetapi inipun mustahil ketika seorang polisi menghentikannya dari berjualan karena tidak punya ijin. Dalam keputusasaannya, dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara yang dramatis. Dia meninggal beberapa minggu kemudian. Kejadian ini memicu gelombang besar demonstrasi dan kerusuhan. Memburuknya situasi ekonomi, kenaikan harga sembako, tingkat pengangguran yang parah, tidak adanya kebebasan, ketiadaan jalan keluar dari kemiskinan dan pengangguran, ini semua membuat rakyat menjadi frustasi yang pada akhirnya terjadilah kasus Tunisia. Sebenarnya hal ini tidak begitu mengherankan dalam sistem pemerintahan Demokrasi/kapitalis. Dalam negara demokrasi, yang sering berlaku adalah hukum besi oligarki, yakni sekelompok penguasa (dan pengusaha) saling bekerjasama untuk menentukan kebijakan politik, social dan ekonomi negara tanpa harus menanyakan bagaimana aspirasi rakyat yang sebenarnya. Partai politik dan wakilnya di Parlemen bekerja lebih untuk memenuhi aspirasinya sendiri. Hal ini tentunya menimbulkan adanya kesenjangan sosial, yang akhirnya yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin tertindas. Ini wajar karena kekuasaan dalam sistem kapitalis hanya diatur oleh sebagian kecil para kapital. Negara bak ladang yang subur untuk para kapital, meskipun harus menindas rakyat kecil.
Namun berbagai macam bentuk kegagalan itu saat ini dianggap sebagai sebuah kesalahan dari penerapan demokrasi oleh beberapa pengamat Barat. Mereka menganggap apa yang terjadi saat ini justru menunjukkan kekuatan demokrasi sesungguhnya yaitu dengan munculnya kekuatan rakyat yang sesungguhnya yang akhirnya memunculkan kekuatan rakyat untuk menggulingkan pemerintahan berkuasa. Padahal yang terjadi bukanlah demikian, yang terjadi masyarakat dunia saat ini hanya sedang heavy untuk mencari sistem yang mampu membawa rakyat ke arah yang lebih baik. Yang perlu diwaspadai oleh setiap masayarakat muslim di penjuru dunia adalah bahwa jangan sampai keinginan untuk membangun sistem yang baik akan tetapi justru tercebur dalam kesalahan yang fatal atau dengan kata lain jangan sampai keluar dari penggorengan tetapi justru masuk dalam bara api yang membakarnya. Jangan sampai perubahan yang diinginkan oleh umat islam di beberapa negeri muslim justru dijadikan tunggangan oleh kepentingan-kepentingan lain yang justru ketika perubahan itu terjadi bukan rakyat yang memegang kekuasaan tetapi justru kapitalisme yang kembali berkuasa.
Memang kalau kita melihat kondisi politik diberbagai negeri kaum muslim ada kecenderungan untuk adanya perubahan atau revolusi, namun yang perlu diperhatikan bahwa perubahan-perubahan itu tidak membawa hasil apa-apa dalam kehidupan. Karena memang selama ini perubahan hanya mengganti penguasa. Perubahan semacam ini tidak akan membawa perubahan apa-apa justru momentum perubahan seperti ini yang seringkali ditunggangi para kapitalisme.
Perubahan memang sesuatu yang sangat diharapkan tatkala sistem yang berjalan tidak dapat melindungi dan mengayomi rakyat. Sehingga seringkali kekuatan rakyat (people power) yang akhirnya dapat melakukan perubahan. Memang dalam islampun penggunaan kekuatan rakyat (people power) bisa saja dilakukan dengan jalan unjuk rasa atau demonstrasi. Namun demikian, hal itu tentu dalam rangka untuk menerapkan islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tentu tidak berguna apa-apa jika kaum muslim saat ini berhimpun untuk melakukan perubahan namun tidak memahami arah perubahan yang ingin dicapai. Kalau perubahan yang dimaksud hanyalah pergantian rezim tentunya hal semacam ini menjadi tidak berguna apa-apa. Akan tetapi ketika umat berhimpun dan melakukan perubahan dalam rangka penerapan islam dalam seluruh aspek kehidupan dan opini masyarakat mengarah pada kebutuhan keberadaan perubahan itu maka kekuatan rakyat (people power) yang akan membawa perubahan yang benar.

Saat yang tepat kembali ke Sistem Islam
Allah SWT berfirman :
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
Seperti yang kita ketahui bahwa di negara-negara Arab saat ini telah diterapkan pemerintahan kapitalisme yang sekuler, dimana dalam dasar politik dalam sekularisme adalah paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Hukum dibuat dan bersumber dari akal dan hawa nafsu manusia melalui proses demokrasi. Hukum dibuat oleh segelintir orang yang tidak lepas dari kepentingan, baik kepentingan uang ataupun kekuasaan.
Berbeda dengan Islam, dimana Islam merupakan risalah yang diturunkan oleh Allah Swt melalui Rasul-Nya Muhammad Saw. Islam telah membawa corak pemikiran yang khas yang bisa melahirkan peradaban yang lain sama sekali dengan peradaban manapun. Sehingga Islam mampu membangun sebuah masyarakat yang pemikiran, perasaan, sistem dan individu-individunya lain sama sekali dengan masyarakat manapun. Demikian juga Islam juga membawa aturan yang paripurna, yang mampu menyelesaikan seluruh problem interaksi di dalam negara dan masyarakat, baik dalam masalah pemerintahan, ekonomi, sosial, dll. Seperti kasus yang terjadi di Tunisia, maka jika sistem Islam diterapkan, bisa dipastikan tidak perlu sampai ada demontrasi besar-besaran, bahkan di Mesir saat ini sudah terdapat korban meninggal dunia 102 orang.
Ada dua alasan utama yang menyebabkan adanya perbedaan yaitu pertama di dalam sistem pemerintahan Islam, ditegakan oleh 4 pilar yang salah satunya adalah kedaulatan di tangan Syara’. Kedaulatan pada dasarnya adalah “menangani dan mengendalikan aspirasi”, jadi kalau dalam negara demokrasi kita mengenal “kedaulatan ditangan rakyat berarti rakyatlah yang menangani dan mengendalikan aspirasinya. Rakyat akan mengangkat siapa saja yang mereka kehendaki dan akan memberikan hak penanganan dan pengendalian aspirasinya kepada siapa saja. Inilah fakta kedaulatan yang justru malah menghilangkan kekuasaan di atas pundak rakyat. Bisa kita bayangkan jika pihak-pihak yang dipilih rakyat untuk menangani dan mengendalikan aspirasi mereka ternyata hanyalah tipuan yang hanya menguntungkan beberapa pihak, maka sangatlah wajar jika terjadi kesenjangan diberbagai hal. Hal ini berbeda dengan Islam, kedaulatan di tangan syara’ sehingga yang menangani dan mengendalikan aspirasi adalah hukum sayar’ bukan individu, bukan segelintir kapital yang bisa seenaknya sendiri. Melainkan ditangani dan dikendalikan berdasarkan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah. Oleh karena itu yang berkuasa ditengah-tengah umat dan individu serta yang mengendalikan aspirasi umat adalah berdasarkan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah Swt. Sehingga tidak mungkin terjadi penyalahgunaan wewenang seperti menguntungkan pribadi dan keluarga penguasa, seperti terjadi di Tunia, dan negara-negara Arab.
Kedua, Islam memiliki sistem pemerintahan yang baik dalam hal pemberhentikan seorang penguasa. Dalam sistem pemerintahan Islam, ada 2 keadaan yang bisa menyebabkan seorang penguasa (Khalifah) diberhentikan yaitu
1. Keadaan yang secara otomatis mengeluarkan penguasa (khalifah) dari jabatan Khilafah, yaitu murtad, gila, dan ditawan musuh
2. Keadaan yang tidak secara otomatis mengeluarkan khalifah dari jabatannya, akan tetapi dia tidak boleh mempertahankan jabatan khilafahnya yaitu ; fasik, berubah kelamin, gila tapi tdk parah, tdk bisa melaksanakan tugas (cacat, sakit keras) dan adanya tekanan yang menyebabkan khalifah tidak bisa menggunakan pikirannya sendiri sesuai dengan hukum syara’ (seperti saat ini banyak penguasa negara-negara Arab yang menjadi boneka asing)
Dan dalam sistem Islam, umat tidak memiliki hak untuk memberhentikan khalifah meskipun umatlah yang khalifah ditetapkan berdasarkan bai’at umat, akan tetapi syara’ telah menetapkan kapan seorang khalifah berhenti dengan sendirinya meskipun tidak diberhentikan. Islam mempunyai sistem tersendiri yang mengatur mekanisme yang akan memastikan apakah seorang khalifah telah melanggar ketentuan sehingga layak diberhentikan, yaitu melalui Mahkamah Madzalim. Institusi inilah yang paling berhak menentukan keputusan (vonis berhenti atau tidak) seorang khalifah.

Waspadalah !
Krisis politik bergejolak di Tunisia, Mesir, Sudan dan Yordania tak lepas juga karena adanya campur tangan pihak asing dalam rangka menghancurkan kaum muslimin dan dalam rangka tetap mengukuhkan hegemoni mereka di negara-negara Arab yang selama ini telah menjadi boneka. Harus diwaspadai para pengemban dan antek kapitalisme yang mencoba merongrong dan memecah belah umat islam. Kita harus senantiasa waspada terhadap segala kemungkinan yang dicoba dijadikan jalan para kapitalisme guna menhancurkan umat ini dengan menancapkan hegemoni kapitalisme di negero-negeri kaum muslimin. Jangan sampai kita terjebak ingin melakukan revolusi akan tetapi justru revolusi kaum muslimin menjerumuskan dalam sistem yang lebih buruk lagi. Jangan sampai keinginan kita keluar dari wajan penggorengan dengan jalan revolusi tetapi justru kita terjatuh dalam bara api penggorengan itu, atau dengan kata lain setelah terlepas dari rezim diktator yang terjadi akan tetapi terjerembab dalam gendongan ideologi kapitalisme yang sudah terbukti menyengsarakan umat.
Revolusi yang benar dalam rangka mewujudkan sistem yang baik adalah dengan penerapan syari’at islam secara menyeluruh diaspek kehidupan dalam naungan kepemimpinan islam bukan dengan jalan revolusi yang lain. Revolusi menuju kepada sistem yang batil justru akan membawa kesengsaraan bagi umat islam. Hendaknya segenap kaum muslimin dipenjuru dunia menyadari tentang kebutuhan dan kerinduan umat islam terhadap penerapan syariat di muka bumi ini. Wallahua’lamu bisshawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar