Kamis, 20 Januari 2011

”PEDASNYA” HARGA CABE, SIAPA YANG DIUNTUNGKAN?

Suasana sebuah warung tegal di sebuah jalan kecil di Pondok Kelapa, Jakarta Timur di suatu pagi tampak ramai. Seperti biasa, sejumlah warga sedang makan pagi. Suasananya riuh. ”Sambalnya kok enggak pedas sih, Mbak?" kata seorang pembeli sambil duduk mengangkat kaki di bangku warung. "Wong lombok lagi mahal kok minta sambal pedas," kata pembeli lain sambil tertawa. Yang lain pun menimpali, "Sambele bae dicampur tomat kok, ya ora pedes." Si Mbak penjaga warung pun hanya mesem-mesem. "Lha kiye lomboke kok langka. Mangan tahu goreng tanpa lombok ya ora maen," kata pengunjung lain dengan logat Tegal yang sangat kental.
Perbincangan seperti itu sekarang umum terjadi di warung-warung tegal atau warung nasi lainnya di Jakarta. Maklum, harga cabai saat ini memang sangat mahal. Para pemilik warung harus pintar mencari akal agar tetap bisa mendapat keuntungan, sedangkan pelanggan juga tak harus tercekik lehernya karena harganya dimahalkan.
Inilah beberapa gambaran realita dimasyarakat yang disarikan dalam pemberitaan dalam kurun waktu awal tahun 2011 ini. Melambungnya harga cabe seolah menjadi kado pahit tahun baru 2011. Masyarakatpun akhirnya yang terkena dampaknya yaitu semakin tingginya biaya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Yang menjadi pertanyaan bersama bagi kita semua adalah apa yang menyebabkan pedasnya harga cabe di awal tahun ini? Bagaimanakah sebenarnya menyelesaikan persoalan semacam ini?

Faktor Penyebab ”Pedasnya” Harga Cabe
Melonjaknya harga cabe sampai pada titik harga yang tinggi yaitu Rp. 100.000,- perkilogram merupakan bagian tidak terpisahkan dari persoalan yang ada di negeri ini. Seperti diketahui bahwa banyak faktor yang membuat mengapa harga cabe di pasaran melambung tinggi. Pertama berkaitan dengan produksi cabe di negeri ini. Memang salah satu yang mempengaruhi dari banyak tidaknya produksi cabe adalah faktor cuaca dan iklim. Seperti diketahui pada saat ini cuacalah yang dianggap sebagai penyebab utama melonjaknya harga si ”kriting merah” di pasaran. Karena dengan cuaca yang tidak mendukung produksi cabe menjadi turun drastis. Akibat tingginya curah hujan ini produktifitas tanaman cabai bisa melorot hingga 30%. jika biasanya satu hektar lahan dalam kondisi normal bisa menghasilkan 12 ton cabai merah, maka akibat kelembaban udara yang tinggi dan curah hujan tinggi membuat produksi cabai menurun menjadi sekitar 8,4 ton per hektar (Kontan, 29 Desember 2010).
Persoalan lain yang menjadi pemicu melambungnya harga cabe adalah ulah para spekulan dan pedagang yang meninggikan harga cabe dengan kondisi produksi yang sangat minim. Namun walaupun harga cabe melambung tinggi di pasaran ternyata hal ini tidak dinikmati oleh para petani. Harga di petani kepada para pedagang/tengkulak tetap seeperti biasanya. Sehingga setinggi apapun harga cabe itu tidak berpengaruh terhadap pendapatan para petani yang nota bene rata-rata dari kalangan ekonomi lemah. Seperti yang terjadi di Garut walaupun harga cabe sudah membumbung tinggi dalam kisaran Rp. 80 ribu –Rp. 100 ribu ternyata harga di kalangan petani hanya dalam kisaran Rp. 20 ribuan saja (Garut News). Ini menunjukkan bahwa kenaikan harga cabe hanya menguntungkan beberapa gelintir dan spekulan yang membeli cabe dengan harga murah kemudian menjualnya di pasaran dengan harga sangat tinggi.
Meskipun terjadi demikian, pemerintah atau negara seolah lepas tangan dengan kondisi yang memprihatinkan ini. Bahkan para petinggi-petinggi negeri ini hanya melakukan himbauan-himbauan kepada masyarakat bukan justru memberikan pelayanan pemecahan persoalan yang dihadapi masyarakat. Masyarakat dihimbau untuk tidak banyak atau tidak sama sekali menkonsumsi cabe, menggunakan produksi cabe olahan, sampai dengan anjuran untuk menanam cabe sendiri di rumah untuk kebutuhan masing-masing keluarga.
Gambaran semacam ini tentunya tidak menggambarkan prilaku dari seorang petinggi negeri ini yang seharusnya memberikan pelayanan rakyat akan tetapi tidak melakukan apa yang seharusnya bisa membantu persoalan rakyat. Banyak dari petinggi negeri inipun menyerah bahwa kenaikan harga cabe yang menggila ini tidak bisa dicampuri oleh pemerintah. Mereka menanggap ini merupakan sesuatu yang wajar yang nanti akan kembali normal jika pasokan cabe kembali normal. Pernyataan semacam ini tentunya bukan gambaran pemimpin yang bisa memberikan pelayanan masyarakat secara optimal dalam segala persoalan. Yang harus dilakukan adalah bagaimana pemerintah atau negara ikut campur tangan dalam menormalkan harga-harga yang menjadi kebutuhan masyarakat. Tentunya campur tangan itu dilakukan dengan cara-cara yang dibenarkan bukan dengan cara-cara yang salah.
Disamping itu, hal penting yang berkaitan dengan persoalan kenaikan harga cabe adalah metode pelaksanaan dan penegakan sistem ekonomi dalam kehidupan masarakat di negeri ini yang tidak jelas. Sebagaimana contoh bahwa negara saat ini angkat tangan terkait dengan persoalan kenaikan harga cabe dengan alasan negara tidak bisa campur tangan dalam mengendalikan harga. Pengendalian harga oleh negara bisa dilakukan dengan melakukan operasi-operasi pasar untuk melakukan kestabilan harga, namun hal ini tidak dilakukan oleh negara. Jika persoalannya adalah ketidaktersediaannya cabe maka bagaimana negara bisa mengupayakan itu dengan cara impor dan sebagainya. Itulah sebetulnya bentuk tanggungjawab negara dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya.

Menyelesaikan ”Pedasnya” Harga Cabe menurut Perspektif Islam
Berdasarkan beberapa faktor penyebab melambungnya harga cabe di pasaran maka bagaimana sebenarnya menyelesaikan persoalan semacam ini? Apakah persoalan seperti ini bisa diselesaikan? Jawabannya adalah tentu persoalan seperti ini bisa diselesaikan dengan penerapan hukum yang benar tentang aktifitas jual beli di pasar.
Dalam persoalan jual beli memang salah satu syarat dalam akadnya adalah adanya kerelaan antara penjual dan pembeli. Tentunya kerelaan itu harus ditimbulkan dari kejujuran terhadap substansi akad jual beli itu. Tentunya kerelaan itu didasari atas kejujuran tidak adanya penipuan barang. Akan tetapi disamping adanya penipuan barang maka ada hal lain yang harus diperhatikan dalam jual beli di pasar yakni larangan adanya penipuan harga (al ghabnu) dan penimbunan.
Kaitannya jika ada penimbunan yang menyebabkan harga cabe atau barang tertentu menjadi tinggi maka negara harus menindak tegas siapa saja yang melakukan penimbunan terhadap barang-barang itu. Karena islam sangat melarang adanya penimbunan, sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh shahih Muslim dari Sa’id bin al Musaib dari Ma’mar bin Abdullah al Adawi: “Tidak akan melakukan penimbunan selain orang yang salah”. Dan juga apa yang sudah diriwayatkan oleh Al Atsram dari Abi Umamah yang mengatakan: “Rasulullah saw telah melarang penimbunan makanan”. Larangan dalam hadits diatas menunjukkan adanya larangan secara pasti untuk tidak melakukan penimbunan, sehingga jika ada orang yang melakukan penimbunan maka dia harus dikenai sanksi karena ini merupakan pelanggaran terhadap salah satu syariat Allah yang harus ditegakkan. Sehingga kewajiban negara adalah memberikan sanksi secara tegas bagi siapa saja yang melakukan penimbunan ini.
Adapun ukuran bagaimana seseorang dikatakan menimbun adalah sampainya pada suatu batas yang menyulitkan warga setempat untuk membeli barang-barang yang tertimbun, semata-mata karena fakta penimbunan tersebut tidak terjadi selain dalam keadaan semacam ini, yang mengakibatkan harga-harga naik karena adanya penimbunan ini, ini merupakan tindakan kesewenang-wenangan orang yang melakukan penimbunan. Hukum keharaman terhadap penimbunan ini memang tidak berlaku spesifik untuk makanan pokok saja melainkan untuk makanan dan non makanan.
Adapun hal lain yang sering juga terjadi dalam persoalan pendistribusian bahan makanan adalah adanya manipulasi harga dari pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan. Jika terjadi demikian maka negara harus tegas memberikan sanksi kepada siapa saja yang melakukan manipulasi harga. Karena dalam islam memanipulasi harga termasuk salah satu perbuatan haram atau sering disebut al ghabnu (penipuan harga). Artinya seseorang telah menipu dengan menaikkan atau menurunkan harga secara keji.
Adapun dalam kasus pendistribusian maka yang sering terjadi adalah penggelembungan harga oleh penjual, maka jika negara melihat yang demikian maka harus diberikan sanksi. Akan tetapi untuk menentukan seseorang di katakan melakukan al ghabnu yang keji adalah tatkala dia memanipulasi harga yang jauh tidak sesuai dengan harga yang biasanya terjadi di daerah itu. Dan hal itu memang diharamkan dan orang yang melakukannya harus bertanggung jawab atas penipuan itu. Seperti yang terjadi pada saat ini dimana banyak sekali pedagang melakukan penggelembungan harga dengan dalih permintaan yang sangat tinggi tidak disertai dengan stok cabe yang memadai sehingga para pedagang/tengkulak dan spekulan menaikkan harga seenaknya dari harga yang seharusnya dibeli oleh masyarakat. Sehingga bagi siapa saja yang melakukan manipulasi harga maka sanksi yang berlaku bagi pelakunya adalah ta’zir (sanksi yang jenis, kualitas dan kuantitas di tentukan oleh ijtihad hakim). Dimana penentuan seseorang dikenai sanksi ta’zir yaitu berdasarkan putusan pengadilan.
Hal lain yang harus diberantas dalam perdagangan atau jual beli adalah larangan untuk melakukan adanya monopoli, konglomerasi, bahkan kartel dalam perdagangan. Karena hal ini dapat menimbulkan ketidakadilan di tengah-tengah masyarakat. Hanya orang-orang tertentu dan golongan-golongan tertentu saja yang dapat menikmati keuntungan dalam perdagangan dan jual beli. Hal ini tentunya menimbulkan persaingan yang tidak sehat diantara pedagang. Melakukan praktek-praktek seperti monopoli dan sejenisnya adalah sesuatu yang jelas dilarang, apalagi secara jelas jika negara membiarkan, mengijinkan atau justru terlibat dalam praktek monopoli ini tentu jauh lebih dilarang lagi. Karena secara tidak langsung negara telah memberikan ruang dan ikut serta dalam kemaksiatan kepada Allah. Oleh karena itu praktek-praktek semacam itu harus dihilangkan dalam aktivitas jual beli dan perdagangan.
Penyelesaian persoalan-persoalan seperti di atas tidak akan bisa dilakukan tatkala sistem yang mengaturnya tidak mendukung dalam pelaksanaan tindakan-tindakan tersebut. Maka mau tidak mau jika ingin selesai persoalan di atas maka sistem asas yang harus dirubah, jika sistem yang ada sekarang masih langgeng maka persoalan di atas tidak akan bisa terselesaikan. Oleh karena itu hanya islamlah yang cocok untuk menerapkan dan menyelesaikan persoalan diatas secara menyeluruh karena sudah pasti bahwa hanya sistem islamlah yang bisa memberikan pelayanan bagi rakyatnya dan rahmat bagi seluruh alam semesta. Wallahu a’lamu bishawab

1 komentar: